Renungan

Menakjubkan sungguh urusan orang yang beriman. Segala perkaranya adalah kebaikan, dan itu tidak terjadi kecuali pada orang beriman. Jika mendapat nikmat, ia bersyukur, dan syukur itu baik baginya. Jika ditimpa musibah dia bersabar, dan sabar itu baik baginya (HR. Abu Dawud & At-Tirmidzi)

Jumaat, 22 Ogos 2008

ADAKAH KONTRAK SOSIAL DALAM ISLAM?

Soal:

Apakah Islam mengenal kontrak sosial dalam hubungan rakyat dengan penguasa?

Jawab:

Dalam sistem pemerintahan sekular, kekuasaan negara terbagi menjadi tiga: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Konsep ini dikenal dengan trias politica. Trias politica menganggap bahwa kekuasan-kekuasaan tersebut sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Ide pemisahan ini, menurut Montesqieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik yang tidak akan terwujud, kecuali jika terdapat keamanan masyarakat di dalam negeri. Ia berpendapat bahwa seseorang cenderung akan mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat apabila kekuasa itu terpusat di tangannya. Karena itu, harus ada pemisahan kekuasaan.[1]

Dari pemikiran tersebut disusunlah suatu transaksi (kontrak) antara penguasa dan rakyat, yang bisa menjauhkan penguasa memanfaatkan kekuasaannya secara arogan dan sewenang-wenang. Rakyat diposisikan dalam lembaga legislatif, yang memiliki otoritas mutlak membuat UU dan berbagai peraturan, termasuk GBHN yang harus dilaksanakan oleh kepala lembaga eksekutif (Presiden dan sejenisnya). Jika pihak eksekutif melanggar atau melalaikannya, ada lembaga yudikatif yang akan mengadilinya. Jika dianggap perlu, pihak legislatif akan memberhentikannya dan menggantinya dengan orang lain. Ini sesuai dengan paradigma dalam sistem sekular bahwa kedaulatan yang tertinggi ada di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa (eksekutif).

Dengan demikian, hubungan antara rakyat dan penguasa dalam sistem sekular adalah: rakyat sebagai musta’jir (majikan) dan penguasa sebagai ajir (pekerja). Layaknya akad (transaksi) ijârah, si ajir (yaitu penguasa) memperoleh upah (ujrah) atas pekerjaannya (yang tertuang dalam GBHN); memiliki jam kerja; memiliki hari-hari libur, cuti, dan sejenisnya. Malahan periode kerjanya juga ditentukan oleh rakyat, bisa empat tahun atau lima tahun. Setelah itu bisa terpilih kembali atau ada orang lain yang menggantikannya.

Transaksi semacam itulah yang dikenal dengan kontrak sosial rakyat dengan penguasa. Fenomena ini berlangsung hampir di seluruh dunia, termasuk negeri-negeri Muslim.

Masalahnya, apakah hubungan antara penguasa dengan rakyat di dalam sistem Islam sama persis seperti itu?

Islam berbeda dengan ideologi lain, baik kapitalisme-sekularisme maupun sosialisme-komunisme. Perbedaannya bukan hanya dalam aspek prinsip-prinsip pokok (ushûl) melainkan juga hingga ke cabang-cabangnya yang terkecil (furû‘). Oleh karena itu, hubungan antara penguasa dan rakyat dalam sistem Islam sangat bertentangan dengan seluruh sistem dan ideologi yang ada di dunia.

Dalam Islam, kedaulatan (as-siyâdah) ada di tangan Allah Swt., bukan di tangan rakyat maupun penguasa. Ini sesuai dengan firman Allah Swt: (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 36). Sedangkan kekuasaan (as-sulthah) berada di tangan rakyat (kaum Muslim). Alasannya, karena kaum Muslim-lah yang memilih dan menentukan khalifah, tentu saja setelah para kandidat khalifah memenuhi ketentuan-ketentuan syarat-syarat berdasarkan syariat..

Apabila hasil pemilihan menghasilkan suara terbanyak pada seorang khalifah, maka rakyat (kaum Muslim) akan membaiatnya. Jadi, secara syar‘i, hubungan antara rakyat (kaum Muslim) dan penguasa dalam sistem Islam diekspresikan dalam bentuk akad baiat.

Baiat adalah kewajiban bagi seluruh kaum Muslim, sekaligus menjadi hak setiap Muslim, baik laki-laki maupun wanita. Kewajiban ini tampak dari pengertian hadis:

«وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»

Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada baiat (kepada Khalifah), maka matinya dalam keadaan mati jahiliah. (HR Muslim).

Dengan dibaiatnya seorang khalifah oleh rakyat (kaum Muslim), maka secara legal (syar‘i) kedudukan khalifah tersebut menjadi sah. Khalifah wajib menjalankan sistem hukum Islam dalam seluruh aspek yang menjadi tanggung jawabnya sebagai kepala negara (yang mencakup aspek-aspek politik dalam dan luar negeri, ekonomi, sosial, pendidikan, militer, peradilan dan lain-lain). Artinya, syariat Islam menempati kedudukan yang tertinggi dan khalifah adalah orang yang diangkat oleh rakyat melalui baiat untuk mengatur dan memelihara seluruh urusan rakyatnya berdasarkan syariat Islam (dicerminkan dalam bentuk pelaksanaan al-Quran dan as-Sunnah). Selama seorang khalifah menjalankan syariat Islam, maka ia tidak berhak diberhentikan, meskipun ia menjadi khalifah seumur hidup. Namun, jika seorang khalifah melalaikan atau mencampakkan pelaksanaan syariat Islam, maka ia layak untuk diberhentikan, walaupun ia baru sehari menduduki jabatan khalifah. Yang berhak menentukan layak atau tidaknya diberhentikan adalah Mahkamah Mazhalim, bukan rakyat maupun Majelis Syura.

Berdasarkan hal ini, maka yang dominan dan yang menguasai rakyat maupun khalifah di dalam kehidupan Islam adalah syariat Islam (hukum-hukum Allah Swt. dan Rasul-Nya), bukan yang lain. Ketegasan dan keterikatan khalifah untuk tetap berpegang teguh pada syariat Islam dan menerapkannya atas seluruh pengaturan urusan rakyatnya, baik di dalam maupun di luar negeri, bersifat wajib. Apabila sebagian besar rakyatnya (kaum Muslim) atau mungkin seluruh rakyatnya menghendaki penggantian sistem Islam, maka khalifah wajib tetap terikat terhadap syariat Islam (hukum-hukum Allah Swt. dan Rasul-Nya). Dalam kondisi seperti ini, rakyat (kaum Muslim) tidak berhak untuk memberhentikan dan mengganti khalifah yang ada dengan khalifah yang baru, yang akan memenuhi tuntutan rakyat (kaum Muslim) yang menginginkan penerepan sistem hukum sekular!

Sementara itu, rakyat dalam sistem Islam, wajib menaati perintah (keputusan) Khalifah, kecuali Khalifah memerintahkan perkara yang temasuk maksiat. Ketaatan kepada Khalifah telah dijamin oleh nash-nash al-Quran (Lihat, mialnya: QS an-Nisa’ [4]: 59).

Rasulullah saw. juga bersabda:


«مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ عَصَى اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ»

Siapa saja yang menaatiku, sesunggunya ia telah menaati Allah. Siapa saja yang bermaksiat kepadaku, sesungguhnya ia telah bermaksiat kepada Allah. Siapa saja yang menaati amir (Khalifah dan aparatnya, pen.), sesungguhnya ia telah mentaaiku. Siapa saja yang bermaksiat kepada amir, sesungguhnya ia telah bermaksiat kepadaku. (HR Ahmad).

Lebih dari itu, kuatnya kedudukan Khalifah ditegaskan dengan larangan untuk berlaku bughat (membangkang) terhadap Khalifah dan aparatnya. Jika rakyat membangkang terhadap Khalifah, maka mereka dihukumi dengan had bughat: dinasihati agar mereka kembali ke pangkuan Negara Khilafah Islam; jika mereka menolak, Negara Khilafah Islam akan memerangi mereka sampai mereka kembali.

Dengan demikian, Islam tidak mengenal istilah kontrak sosial, pembatasan masa jabatan kepala negara, trias politica, kedaulatan rakyat, dan ide-ide demokrasi lainnya

0 comments: