Baik buruknya moral masyarakat banyak ditentukan oleh moral para pemimpinnya, iaitu para ulama dan penguasa. Rasulullah Saw bersabda:
“Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik, maka akan baiklah masyarakat. Tetapi bila keduanya rosak, maka akan rosaklah manusia itu. Kedua golongan manusia tersebut iaitu ulama dan penguasa.” [HR. Abu Naim].
Manusia juga ada dua kelompok. Kelompok pertama, kelompok yang mengikuti jejak ulama, patuh kepada ajaran-ajaran yang dibawakannya, serta merasa terikat dengan hukum dan peraturan Islam. Mereka bekerja membantu ulama dalam memerangi musuh-musuh Islam, membanteras segala kemaksiatan, demi tercapainya kebaikan dan kemakmuran bersama. Kelompok kedua, adalah kelompok orang yang tunduk di bawah perintah para penguasa, takut untuk melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan, sekalipun ia perkara yang haq. Mereka selalu mencari perlindungan penguasa dan mengajak manusia untuk mematuhi peraturan yang diterapkan ke atas mereka.
Di antara ulama ada yang patut diteladani, kerana hatinya baik, sopan santun dan berakhlak luhur, cinta keadilan dan benci kezaliman, berlaku jujur dan benar pada semua manusia hatta dirinya sendiri. Segala permasalahan yang ditimbulkan oleh penguasa zalim selalu dihadapinya dengan penuh keimanan dan keyakinan yang didasarkan argumentasi syariat yang kuat dan mantap. Apabila melihat penguasa yang angkuh dan melanggar batas-batas kemanusiaan, ulama itu memberinya nasihat agar dia kembali ke jalan yang benar.
Ada pula penguasa yang adil, bertakwa kepada Allah, imannya kuat dan teguh. Dia menghabiskan waktu siang dan malamnya untuk berkhidmat kepada rakyat dengan memperhatikan segala keluhan dan keperluan mereka. Penguasa yang selalu ikhlas membela Islam, sangat marah apabila kehormatan Islam diinjak-injak dan sedih bila syiar-syiar Islam dinodai. Dia merasa senang bila keadilan ditegakkan, dan sangat tersinggung bila terjadi suatu penganiayaan (kezaliman). Semua itu kerana dia merasa memikul tanggung jawab terhadap rakyatnya. Dia selalu ingat kepada sabda Rasulullah yang berbunyi:
“Setiap kalian adalah penggembala dan semua akan ditanya tentang penggembalaannya, dan seorang Imam (ketua negara) dia akan ditanya tentang gembalaannya.” [HR. Al-Bukhari].
Bagi penguasa seperti ini, orang tua di antara umat Islam dianggap sebagai orang tuanya, yang muda dianggap sebagai saudaranya, dan yang kecil dianggap sebagai anaknya. Dengan demikian maka hakikat pembangunan dalam semua aspek, baik fizik mahupun mental, dapat dirasakan manfaatnya oleh semua anggota masyarakat.
Tetapi, tidak jarang terjadi bahawa kedua golongan manusia ini, yakni ulama dan penguasa, situasinya bertolak belakang dengan sifat-sifat yang telah disebutkan di atas. Para ulama hanya pasif, berdiam diri dan menutup mata atas segala apa yang diperbuat oleh penguasa yang zalim. Sedangkan para penguasa cenderung untuk berbuat fasik, bertindak sewenang-wenangnya terhadap rakyat, dan mengikuti hawa nafsunya.
Menurut pendapat sebahagian ulama, kemungkaran yang sudah demikian hebatnya sudah sulit untuk dicegah. Nasihat dan teguran sudah tidak ada harganya lagi. Oleh kerana itu, sikap diam adalah satu-satunya jalan untuk berada dalam selamat. Padahal akibat dari sikap diam itu justeru menjadikan dekadensi moral alias kemerosotan akhlak masyarakat semakin bertambah luas. Masyarakat semakin tuli terhadap nasihat, buta terhadap kebenaran, dan hatinya semakin terkunci untuk menerima keadilan. Para ulama semakin tidak berdaya menahan momentum pergaulan bebas yang merangsang manusia untuk lebih berani berbuat kezaliman, kerosakan dan kemungkaran. Tentu saja sikap berdiam diri itu tidak dibenarkan kerana para ulama itu adalah penerus amanat risalah Nabi Muhammad Saw. Seolah-olah mereka lupa akan firman Allah SWT yang berbunyi:
Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.” (Qs. al-A’râf [7]: 164).
Justeru ayat tersebut menjelaskan sikap para ulama sekali gus misi mulia mereka yakni menjadikan masyarakat bertakwa.
Memang dewasa ini, akibat modernisasi yang tidak berlandaskan akidah Islam, akibatnya meteor kezaliman dalam segala corak dan bentuknya telah mendominasi negeri-negeri kaum muslimin. Sehingga kerosakan moral melanda dalam segala aspek kehidupan manusia, kemungkaran dilakukan secara terang-terangan bahkan orang merasa bangga melakukan perbuatan yang terkutuk. Para ulama merasa kewalahan (tidak mampu) menghadapi situasi yang serba sulit ini, sehingga mereka mengambil sikap sendiri-sendiri. Ada yang tinggal diam melepaskan tanggung jawabnya sebagai ulama, kerana merasa cukup dengan hanya melaksanakan ibadah formal, manakala hiruk pikuk yang terjadi di dalam masyarakat tidak dihiraukannya. Ada juga para ulama yang menjadi penyambung lidah para penguasa, mendukung dan membenarkan segala tindakan mereka. Ulama yang lain ada yang hanya pandai berceramah tetapi terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan ibadah formal seperti solat, zakat dan sebagainya. Namun tidak berani menyinggung situasi yang sedang terjadi sebagai akibat dari kebijakan dan langkah penguasa yang zalim. Bahkan ada yang lebih parah lagi, sebahagian ulama ada yang menganut idea sosialis atau kapitalis ala Barat dan mendukungnya dengan mencari-cari dalil dari ajaran Islam yang dipaksa-paksakan, seolah-olah idea tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Sikap dan tindakan para ulama tersebut tidak boleh dibiarkan atau dibenarkan begitu sahaja. Sebagai pewaris dan pembawa risalah dakwah Nabi, seharusnya mereka melaksanakan amar makruf nahi mungkar dengan tetap bertawakal kepada Allah. Kondisi ini perlu kita cermati tatkala mengingat Rasulullah Saw bersabda:
“Akan datang penguasa-penguasa yang fasik dan jahat. Siapa saja yang percaya dengan kebohongannya dan membantu kezalimannya, maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak akan masuk ke telagaku di syurga.” [HR. At-Tirmidzi].
Amirul Mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata:
“Rasanya tulang-tulang punggungku hancur kerana dua orang, yang satu orang alim bermuka tebal, dan yang satu lagi seorang jahil yang berpura-pura menjadi ahli ibadah. Yang pertama menipu manusia dengan ilmunya, dan yang kedua menipu manusia dengan ibadahnya.”
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin mengatakan:
“Ulama itu ada tiga macam. (1) Ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain dengan mengejar-ngejar kesenangan dunia. (2) Ulama yang menyelamatkan dirinya dan orang lain dengan menyeru manusia untuk berbakti kepada Allah SWT secara lahir dan batin. (3) Dan ulama yang membinasakan dirinya tetapi menyelamatkan orang lain. Pada zahirnya dia memanggil manusia untuk mengerjakan kebaikan, tetapi secara diam-diam dia sendiri hanya mengejar-ngejar harta untuk mencari kekayaan dan kedudukan dunia. Maka hendaklah kita memuhasabah diri masing-masing, termasuk ke dalam golongan manakah kita di antara tiga macam ulama itu.”
Sejarah perjuangan dan keberhasilan para ulama terdahulu terukir kerana mereka benar-benar merasa bertanggung jawab terhadap umat di hadapan Allah SWT. Mereka berjuang menegakkan amar makruf nahi mungkar serta tidak gentar menghadapi segala macam tantangan dan ancaman yang dilancarkan oleh para penguasa yang zalim dan bengis. Mereka percaya dan bertawakal, bahawa hanyalah Allah SWT satu-satunya penolong dan pelindung. Mereka rela menerima takdir ilahi dan senantiasa memohon agar kelak kembali ke sisi-Nya dalam keadaan syahid. Mereka mengikhlaskan niat dan amal ibadahnya semata-mata hanya untuk Allah. Ucapan dan perkataan mereka sesuai dengan amal perbuatan mereka, sehingga benar-benar dapat meninggalkan bekas yang baik dalam hati para penguasa dan mempengaruhi hati itu untuk meninggalkan kezaliman dalam kekuasaannya.
Tetapi di zaman di mana kerakusan hawa nafsu sangat menonjol dalam hati para penguasa, mereka telah berhasil mengunci dan membisukan mulut para ulama. Akibatnya, ucapan para ulama itu sudah tidak sesuai lagi dengan amal perbuatannya. Itulah sebabnya para ulama menjadi gagal dalam membawa misinya. Seandainya para ulama berdiri tegak dan benar-benar melaksanakan tugas dan kewajipannya, sudah tentu sekali mereka akan berhasil. Kerana harapan umat senantiasa digantungkan kepada para ulama dan penguasanya. Bila kedua-duanya rosak, tentu umat akan rosak pula.
Untuk mengetahui apakah seorang ulama itu baik atau tidak, begitu pula apakah seorang penguasa itu adil atau zalim, akan tampak pada pengamalannya terhadap hukum-hukum syariah. Segala sikap, perilaku, dan amal para ulama dan penguasa harus diukur dengan takaran syariah Islam, dan harus dilihat dengan kaca mata Islam. Dengan itu dapat diketahui baik buruknya sifat dan sikap mereka terhadap Islam; dan bagaimana cara mereka menerapkan hukum-hukum syariah serta tanggung jawab mereka dalam memikul/mengemban dakwah Islam di kalangan umat. Dengan demikian akan terciptalah suatu kehidupan masyarakat yang baik, aman dan teratur. Sebaliknya, jika para ulama dan penguasa mengingkari sifat-sifat kebaikan tersebut, maka yang akan terjadi justeru sebaliknya, iaitu kerosakan, kemungkaran, kebodohan, dan kezaliman.
Dalam hiruk pikuk kempen pilihanraya negara baru-baru ini yang melibatkan para penguasa dan ulama di negara Malaysia, kita berharap agar semua rakyat muslim di negeri ini merenungkan petunjuk ajaran Islam yang berkaitan dengan ulama dan penguasa di atas, dan menjadikan syariah Islam sebagai standard dalam memilih pemimpin mereka. Para ulama, dengan segenap ilmu syariahnya, khususnya fiqh siyasah, hendaknya tampil memberikan rambu-rambu kepada umat mahupun calon kepala negara, bukan tampil gegap gempita hanya untuk pembebek dan pengampu yang pragmatis, lebih-lebih bila tampak kehilangan nuansa ideologis (akidah islam). Jika tidak, maka jangan heran bila kondisi kita ke depan bakal jauh lebih buruk dari hari ini, Na’udzbillahi mindzalik!
“Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik, maka akan baiklah masyarakat. Tetapi bila keduanya rosak, maka akan rosaklah manusia itu. Kedua golongan manusia tersebut iaitu ulama dan penguasa.” [HR. Abu Naim].
Manusia juga ada dua kelompok. Kelompok pertama, kelompok yang mengikuti jejak ulama, patuh kepada ajaran-ajaran yang dibawakannya, serta merasa terikat dengan hukum dan peraturan Islam. Mereka bekerja membantu ulama dalam memerangi musuh-musuh Islam, membanteras segala kemaksiatan, demi tercapainya kebaikan dan kemakmuran bersama. Kelompok kedua, adalah kelompok orang yang tunduk di bawah perintah para penguasa, takut untuk melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan, sekalipun ia perkara yang haq. Mereka selalu mencari perlindungan penguasa dan mengajak manusia untuk mematuhi peraturan yang diterapkan ke atas mereka.
Di antara ulama ada yang patut diteladani, kerana hatinya baik, sopan santun dan berakhlak luhur, cinta keadilan dan benci kezaliman, berlaku jujur dan benar pada semua manusia hatta dirinya sendiri. Segala permasalahan yang ditimbulkan oleh penguasa zalim selalu dihadapinya dengan penuh keimanan dan keyakinan yang didasarkan argumentasi syariat yang kuat dan mantap. Apabila melihat penguasa yang angkuh dan melanggar batas-batas kemanusiaan, ulama itu memberinya nasihat agar dia kembali ke jalan yang benar.
Ada pula penguasa yang adil, bertakwa kepada Allah, imannya kuat dan teguh. Dia menghabiskan waktu siang dan malamnya untuk berkhidmat kepada rakyat dengan memperhatikan segala keluhan dan keperluan mereka. Penguasa yang selalu ikhlas membela Islam, sangat marah apabila kehormatan Islam diinjak-injak dan sedih bila syiar-syiar Islam dinodai. Dia merasa senang bila keadilan ditegakkan, dan sangat tersinggung bila terjadi suatu penganiayaan (kezaliman). Semua itu kerana dia merasa memikul tanggung jawab terhadap rakyatnya. Dia selalu ingat kepada sabda Rasulullah yang berbunyi:
“Setiap kalian adalah penggembala dan semua akan ditanya tentang penggembalaannya, dan seorang Imam (ketua negara) dia akan ditanya tentang gembalaannya.” [HR. Al-Bukhari].
Bagi penguasa seperti ini, orang tua di antara umat Islam dianggap sebagai orang tuanya, yang muda dianggap sebagai saudaranya, dan yang kecil dianggap sebagai anaknya. Dengan demikian maka hakikat pembangunan dalam semua aspek, baik fizik mahupun mental, dapat dirasakan manfaatnya oleh semua anggota masyarakat.
Tetapi, tidak jarang terjadi bahawa kedua golongan manusia ini, yakni ulama dan penguasa, situasinya bertolak belakang dengan sifat-sifat yang telah disebutkan di atas. Para ulama hanya pasif, berdiam diri dan menutup mata atas segala apa yang diperbuat oleh penguasa yang zalim. Sedangkan para penguasa cenderung untuk berbuat fasik, bertindak sewenang-wenangnya terhadap rakyat, dan mengikuti hawa nafsunya.
Menurut pendapat sebahagian ulama, kemungkaran yang sudah demikian hebatnya sudah sulit untuk dicegah. Nasihat dan teguran sudah tidak ada harganya lagi. Oleh kerana itu, sikap diam adalah satu-satunya jalan untuk berada dalam selamat. Padahal akibat dari sikap diam itu justeru menjadikan dekadensi moral alias kemerosotan akhlak masyarakat semakin bertambah luas. Masyarakat semakin tuli terhadap nasihat, buta terhadap kebenaran, dan hatinya semakin terkunci untuk menerima keadilan. Para ulama semakin tidak berdaya menahan momentum pergaulan bebas yang merangsang manusia untuk lebih berani berbuat kezaliman, kerosakan dan kemungkaran. Tentu saja sikap berdiam diri itu tidak dibenarkan kerana para ulama itu adalah penerus amanat risalah Nabi Muhammad Saw. Seolah-olah mereka lupa akan firman Allah SWT yang berbunyi:
Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.” (Qs. al-A’râf [7]: 164).
Justeru ayat tersebut menjelaskan sikap para ulama sekali gus misi mulia mereka yakni menjadikan masyarakat bertakwa.
Memang dewasa ini, akibat modernisasi yang tidak berlandaskan akidah Islam, akibatnya meteor kezaliman dalam segala corak dan bentuknya telah mendominasi negeri-negeri kaum muslimin. Sehingga kerosakan moral melanda dalam segala aspek kehidupan manusia, kemungkaran dilakukan secara terang-terangan bahkan orang merasa bangga melakukan perbuatan yang terkutuk. Para ulama merasa kewalahan (tidak mampu) menghadapi situasi yang serba sulit ini, sehingga mereka mengambil sikap sendiri-sendiri. Ada yang tinggal diam melepaskan tanggung jawabnya sebagai ulama, kerana merasa cukup dengan hanya melaksanakan ibadah formal, manakala hiruk pikuk yang terjadi di dalam masyarakat tidak dihiraukannya. Ada juga para ulama yang menjadi penyambung lidah para penguasa, mendukung dan membenarkan segala tindakan mereka. Ulama yang lain ada yang hanya pandai berceramah tetapi terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan ibadah formal seperti solat, zakat dan sebagainya. Namun tidak berani menyinggung situasi yang sedang terjadi sebagai akibat dari kebijakan dan langkah penguasa yang zalim. Bahkan ada yang lebih parah lagi, sebahagian ulama ada yang menganut idea sosialis atau kapitalis ala Barat dan mendukungnya dengan mencari-cari dalil dari ajaran Islam yang dipaksa-paksakan, seolah-olah idea tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Sikap dan tindakan para ulama tersebut tidak boleh dibiarkan atau dibenarkan begitu sahaja. Sebagai pewaris dan pembawa risalah dakwah Nabi, seharusnya mereka melaksanakan amar makruf nahi mungkar dengan tetap bertawakal kepada Allah. Kondisi ini perlu kita cermati tatkala mengingat Rasulullah Saw bersabda:
“Akan datang penguasa-penguasa yang fasik dan jahat. Siapa saja yang percaya dengan kebohongannya dan membantu kezalimannya, maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak akan masuk ke telagaku di syurga.” [HR. At-Tirmidzi].
Amirul Mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata:
“Rasanya tulang-tulang punggungku hancur kerana dua orang, yang satu orang alim bermuka tebal, dan yang satu lagi seorang jahil yang berpura-pura menjadi ahli ibadah. Yang pertama menipu manusia dengan ilmunya, dan yang kedua menipu manusia dengan ibadahnya.”
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin mengatakan:
“Ulama itu ada tiga macam. (1) Ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain dengan mengejar-ngejar kesenangan dunia. (2) Ulama yang menyelamatkan dirinya dan orang lain dengan menyeru manusia untuk berbakti kepada Allah SWT secara lahir dan batin. (3) Dan ulama yang membinasakan dirinya tetapi menyelamatkan orang lain. Pada zahirnya dia memanggil manusia untuk mengerjakan kebaikan, tetapi secara diam-diam dia sendiri hanya mengejar-ngejar harta untuk mencari kekayaan dan kedudukan dunia. Maka hendaklah kita memuhasabah diri masing-masing, termasuk ke dalam golongan manakah kita di antara tiga macam ulama itu.”
Sejarah perjuangan dan keberhasilan para ulama terdahulu terukir kerana mereka benar-benar merasa bertanggung jawab terhadap umat di hadapan Allah SWT. Mereka berjuang menegakkan amar makruf nahi mungkar serta tidak gentar menghadapi segala macam tantangan dan ancaman yang dilancarkan oleh para penguasa yang zalim dan bengis. Mereka percaya dan bertawakal, bahawa hanyalah Allah SWT satu-satunya penolong dan pelindung. Mereka rela menerima takdir ilahi dan senantiasa memohon agar kelak kembali ke sisi-Nya dalam keadaan syahid. Mereka mengikhlaskan niat dan amal ibadahnya semata-mata hanya untuk Allah. Ucapan dan perkataan mereka sesuai dengan amal perbuatan mereka, sehingga benar-benar dapat meninggalkan bekas yang baik dalam hati para penguasa dan mempengaruhi hati itu untuk meninggalkan kezaliman dalam kekuasaannya.
Tetapi di zaman di mana kerakusan hawa nafsu sangat menonjol dalam hati para penguasa, mereka telah berhasil mengunci dan membisukan mulut para ulama. Akibatnya, ucapan para ulama itu sudah tidak sesuai lagi dengan amal perbuatannya. Itulah sebabnya para ulama menjadi gagal dalam membawa misinya. Seandainya para ulama berdiri tegak dan benar-benar melaksanakan tugas dan kewajipannya, sudah tentu sekali mereka akan berhasil. Kerana harapan umat senantiasa digantungkan kepada para ulama dan penguasanya. Bila kedua-duanya rosak, tentu umat akan rosak pula.
Untuk mengetahui apakah seorang ulama itu baik atau tidak, begitu pula apakah seorang penguasa itu adil atau zalim, akan tampak pada pengamalannya terhadap hukum-hukum syariah. Segala sikap, perilaku, dan amal para ulama dan penguasa harus diukur dengan takaran syariah Islam, dan harus dilihat dengan kaca mata Islam. Dengan itu dapat diketahui baik buruknya sifat dan sikap mereka terhadap Islam; dan bagaimana cara mereka menerapkan hukum-hukum syariah serta tanggung jawab mereka dalam memikul/mengemban dakwah Islam di kalangan umat. Dengan demikian akan terciptalah suatu kehidupan masyarakat yang baik, aman dan teratur. Sebaliknya, jika para ulama dan penguasa mengingkari sifat-sifat kebaikan tersebut, maka yang akan terjadi justeru sebaliknya, iaitu kerosakan, kemungkaran, kebodohan, dan kezaliman.
Dalam hiruk pikuk kempen pilihanraya negara baru-baru ini yang melibatkan para penguasa dan ulama di negara Malaysia, kita berharap agar semua rakyat muslim di negeri ini merenungkan petunjuk ajaran Islam yang berkaitan dengan ulama dan penguasa di atas, dan menjadikan syariah Islam sebagai standard dalam memilih pemimpin mereka. Para ulama, dengan segenap ilmu syariahnya, khususnya fiqh siyasah, hendaknya tampil memberikan rambu-rambu kepada umat mahupun calon kepala negara, bukan tampil gegap gempita hanya untuk pembebek dan pengampu yang pragmatis, lebih-lebih bila tampak kehilangan nuansa ideologis (akidah islam). Jika tidak, maka jangan heran bila kondisi kita ke depan bakal jauh lebih buruk dari hari ini, Na’udzbillahi mindzalik!
0 comments:
Catat Ulasan