Renungan

Menakjubkan sungguh urusan orang yang beriman. Segala perkaranya adalah kebaikan, dan itu tidak terjadi kecuali pada orang beriman. Jika mendapat nikmat, ia bersyukur, dan syukur itu baik baginya. Jika ditimpa musibah dia bersabar, dan sabar itu baik baginya (HR. Abu Dawud & At-Tirmidzi)

Khamis, 27 Mac 2008

Saat-saat Jatuh Cinta...

Pernah jatuh cinta? Bagaimana rasanya? Pasti bahagia bukan? Terasa terang dunia. Bahkan hari-hari yang dilalui pasti terasa sungguh nikmat alias happy kan? Rasanya tidak lengkap jika tidak menceritakan kepada teman-teman, bahawasanya kita sedang jatuh cinta. Agar mereka juga dapat merasakan apa yang kita rasakan tentang erti hidup yang diiringi cinta. Jika berpeluang, setiap saat dan waktu kita berasa senang jika menceritakan tentang si dia, bahawa kita sedang mencintainya walau dia tidak tahu bahawa kita sedang mencintainya dengan segunung harapan dan cita-cita. Ketika itu, kita begitu yakin untuk mencari jalan agar dapat mendekati si dia.

Anda kenal apa itu Cinta? Di sekitar kita, sudah terlalu banyak lagu digubah, puisi ditulis, dan kanvas dilukis untuk menggambarkan cinta. Tapi apakah cinta itu sebenarnya? Tentunya seorang pelukis akan berbeza dengan seorang pencipta lagu dalam menjelaskan cinta. Bahkan setiap orang akan mendefinisikan cinta dengan cara dan metodologi yang berbeza. Iya lumrah bukan?

Sahabatku sekalian...mengapa kita berasa senang dan bahagia ketika sedang jatuh cinta (atau lebih tepatnya sedang dilamun cinta)? Menurut Robert Stenberg, cinta adalah sebuah kisah, kisah yang ditulis oleh setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan keperibadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Ada kisah tentang perang memperebutkan kekuasaan, misteri, permainan dan sebagainya. Kisah pada setiap orang berasal dari “skenario” yang sudah dikenalnya, baik pengalaman (al-maklumatu as-tsabiqoh) tersebut melalui orang tua, pengalaman, cerita dan sebagainya. Kisah ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam sebuah hubungan. (http://e-psikologi.com, pada pembahasan tentang “Cinta”)

Ketika jatuh cinta, kita tiba-tiba merasakan dorongan ingin bertemu dengan orang yang kita cintai. Dorongan itu bahkan sangat kuat menekan dan bergejolak tatkala ada orang yang membicarakan si dia, atau ada orang yang menyebutkan namanya, lebih lucunya ketika membaca tulisan yang kemudian menuliskan sebuah nama yang sama dengan nama orang yang kita cintai (jangan tipu, dengan mengatakan tidak!). Kita jadi rindu dan teringin untuk bertemu, atau sekadar ingin berkomunikasi dengannya. BTW, pernah melalui perasaan ini tidak? Jika tidak, koreksi diri status jantina anda dulu, hehe...

Tapi anehnya, sering kali juga merasa harus "jual mahal" alias jaga imej. Walaupun ketika itu, cinta yang menebal mendorong kita untuk mencurahkan cinta kepada si dia. Lucu memang lucu, tapi itulah hakikatnya. Ini bererti, jatuh cinta itu sememangnya unik. Tapi dengan catatan, jika sang pencinta itu adalah seorang yang pemalu... tapi kebiasaannya memang semuanya malu kan? Meskipun zaman sudah berubah keadaan dan prasananya, tapi cinta sememanya tidak mudah dilafazkan. Kecuali bagi mereka yang kurang harga diri, dan terlalu gentlemen.

Sahabatku sekalian... ketika jatuh cinta, kita seolah-olah berubah menjadi orang yang lembut (bukan pondan) dan peramah. Kita mula belajar cara bertutur kata dan mengatur pilihan kata yang cermat saat berbicara. Terutama apabila kita berbicara dengan si dia yang telah membuat kita jatuh cinta. Itu kita lakukan adalah untuk mendapat perhatiannya. Untuk memberi imej bahawa kita amat baik orangnya di hadapan si dia. Pada akhirnya, adalah tidak mustahil bahawa kita akan meraih simpati dari si dia. Awalnya memang simpati, siapa tahu lama-kelamaan ia berubah menjadi empati dan akhirnya berevolusi kepada jatuh hati. Tidak mustahil bukan?

Karakter Cinta

Jatuh cinta membuat kita merasa harus menumbuhkan perhatian, merasa harus bertanggung jawab, merasa harus hormat di hadapan orang yang kita cintai, dan merasa harus mengetahui segala selok-belok tentang dirinya. Erich From, murid kesayangan Sigmund Freud pernah menuturkan bahawa di dalam cinta itu harus ada empat unsur yang perlu dimiliki, yakni:

Pertama, Care (perhatian). Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Kalau kita mencintai diri sendiri, maka kita akan memperhatikan kesihatan dan kebersihan diri. Kalau kita mencintai orang lain, maka kita akan memperhatikan kesulitan yang dihadapi orang tersebut dan akan berusaha meringankan bebannya. Termasuk jika kita jatuh cinta dengan mencintai lawan jenis kita, maka segala bentuk perhatian akan kita tunjukkan pada si dia. Kita akan sering menulis namanya, menyebutkan namanya, mungkin diam-diam mengumpul segala fotonya untuk dijadikan koleksi. Apatahlagi dengan berkembangnya teknologi informasi yang membolehkan kita mengintip diarinya melalui celah-celah blog mailnya yang secara langsung akan memaparkan foto-fotonya. Dalam diam kita menjadi secret admirer-nya. Minimal itu. Kerana tujuan mulianya adalah mendapat perhatiannya sebagai seorang kekasih.

Kedua, Responsibility (tanggung jawab). Cinta harus melahirkan sikap bertanggungjawab terhadap objek yang dicintai. Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggung jawab akan kesejahteraan material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami yang mencintai isterinya, akan bertanggungjawab akan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya. Seorang jejaka atau gadis yang saling jatuh cinta, ia akan berusaha untuk memposisikan bahawa mereka bertanggung jawab terhadap hubungannya. Menjaganya dan merawatnya agar tidak "terlanjur". Mereka yang memahami ajaran Islam, maka jatuh cinta itu bukan untuk melakukan perbuatan yang dibenci oleh Sang Pemilik Cinta, yakni Allah Swt. Ia akan menjaga pandangannya, perasaan, hatinya, dan juga aktivitinya agar tidak "terlanjur". Tapi, cinta bukan lagi tanggungjawab jika sepasang remaja yang dilanda cinta itu mengekspresikannya dengan cara yang membuat mereka dibenci Allah SWT, seperti seks bebas misalnya.

Ketiga, Respect (hormat). Cinta harus melahirkan sikap menerima apa adanya (qanaah) objek yang dicintai, kelebihannya kita syukuri, kekurangannya kita terima dan perbaiki. Tidak bersikap sesuka hati dan selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Inilah yang disebut respect. Itu sebabnya, sering kali kita mendengar cerita ada orang yang saling jatuh cinta itu meski berbeza etnik, berbeza bahasa, berbeza budaya, bahkan ada yang sampai cinta buta, yakni berbeza agama. Itu kerana, kita merasa bahawa cinta akan melahirkan sikap menerima apa adanya. Wah, jika tak ada filter (saringan) akidah, maka semuanya akan hancur. Tapi, ini kita bicara secara umumnya lho. Bahawa cinta akan melahirkan respect kepada objek yang kita cintai. Benar enggak?

Keempat, Knowledge (pengetahuan). Cinta harus melahirkan minat untuk memahami selok belok objek yang dicintai. Kalau kita mencintai seorang wanita atau lelaki untuk dijadikan isteri atau suami, maka kita harus berusaha memahami keperibadian, latar belakang keluarga, minat, dan ketaatan dalam agamanya. Bukan bermodalkan jatuh cinta je. Eh, kalau kita bicara secara umum pun, sebenarnya ketika kita jatuh cinta, kita akan mencari-cari segala informasi yang bau-bau bacang tentang si dia. Nah, tentu standard yang diinginkan dalam pencarian itu tergantung keperibadian orang yang bersangkutan. Ada yang merasa agama tak perlu menjadi pertimbangan, tapi ada pula yang merasa bahawa agama harus menjadi pertimbangan saat jatuh cinta. Kepada siapa kita harus mencintai. Begitu kan? But, intinya secara umum, cinta memang akan melahirkan rasa ingin tahu untuk menyelidiki si dia yang kita cintai, yang telah membuat kita jatuh hati dan jatuh cinta kepadanya. Setuju?

Tetap Iffah (menjaga kehormatan) ketika jatuh cinta

Menurut Hamka, “Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu sedan atau tragedi. Tetapi cinta menghidupkan penghargaan, menguatkan hati dalam perjuangan, menempuh onak dan duri penghidupan.”Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, ada persoalan besar yang harus diperhatikan oleh orang yang cerdas, iaitu bahawa puncak kesempurnaan, kenikmatan, kesenangan, dan kebahagiaan yang ada dalam hati dan roh tergantung pada dua perkara. Pertama, kerana kesempurnaan dan keindahan sesuatu yang dicintai, dalam hal ini hanya ada Allah, kerananya hanya Allah yang paling utama dicintai. Kedua, puncak kesempurnaan cinta itu sendiri, ertinya derajat cinta itu yang mencapai puncak kesempurnaan dan kesungguhan. (dalam kitab al-Jawabul Kafi Liman Saala’ Anid Dawaaisy-syafi, edisi terjemah. hlm. 255)

Lebih lanjut Ibnu Qayyim menjelaskan, “Semua orang yang berakal sihat harus menyedari bahawa kenikmatan dan kelazatan yang diperoleh dari sesuatu yang dicintai, bergantung kepada kekuatan dorongan cintanya. Jika dorongan cintanya sangat kuat, maka kenikmatan yang diperoleh ketika mendapatkan yang dicintainya tersebut lebih sempurna.”

Mungkin persis seperti kita ketika haus, di panah dengan teriknya siang matahari, maka kita akan semakin haus dan semakin ingin mencari air untuk memenuhi rasa haus kita. Nah, ketika mendapatkan air, maka nikmatnya benar-benar terasa. Tanya kenapa? (Hehe.. macam iklan plak :-D)

Sahabatku sekalian..., kita sering mendengar bahawa jatuh cinta dan akhirnya mencintai orang yang kita cintai adalah sebagai anugerah terindah. Mungkin ada benarnya juga. Meski menurut saya itu terlalu dramatik. Sebab, urusan cinta ini sangat kompleks wahai sahabatku. Tidak seperti ketika menghitung formula matematik yang serba pasti. Tapi yang jelas dan yang paling utama, cinta bagi kita sebagai Muslim, haruslah sesuai dari sisi syariat, dan bukan yang lain. Ku tegaskan sekali lagi, tidak dari yang lain! Melainkan islam semata!

Guys, setiap perbuatan yang kita lakukan itu pasti sesuai dengan cara pandang kita terhadap perbuatan tersebut. Lebih luas lagi cara pandang kita tentang kehidupan. Kalau kita memandang kehidupan itu hanya sekadar tumbuh, berkembang, lalu sampai titik tertentu mati (dan tidak ada kehidupan akhirat), maka perbuatan kita pun memancarkan tentang apa yang kita fahami tentang kehidupan tersebut. Kita boleh dan bebas berbuat apa sahaja sesuai keinginan kita, kerana kita merasa bahawa kehidupan cuma di dunia. Kehidupan setelah dunia kita anggap tidak ada. ertinya, kita jadi tidak kenal istilah pahala dan dosa.

Sebaliknya, bagi kita yang meyakini bahawa kita berasal dari Allah SWT, yang menciptakan kita semua dan segenap lapisan alam semesta, maka hidup di dunia juga adalah untuk beribadah kepada-Nya, dan setelah kematian kita akan hidup di alam akhirat sesuai dengan amalan yang kita lakukan di dunia. Kalau banyak amal baik yang kita lakukan, insyaAllah balasannya pahala dan di tempatkan di syurga. Sebaliknya, kalau lebih banyak atau selama hidup kita berbuat maksiat dan tidak sempat bertaubat, jelas dosa dan kita akan ditempatkan di akhirat nanti di tempat yang buruk, yakni neraka. Naudzubillahi min dzalik.

Nah, dengan sudut pandang terhadap kehidupan yang benar, maka ketika berbuat apa pun, kita akan menyesuaikan dengan cara pandang kita tentang kehidupan yang benar itu. Termasuk ketika kita jatuh cinta. Jangan mentang-mentang jatuh cinta, lalu mengekspresikan cinta seenak hawa nafsu kita. Tidak boleh gitu dong guys... Bukan asal cantik dan seksi, maka kita main langgar je. Oh, jangan begitu dong guys. Tapi intinya sih, kita bakalan berfikir bagaimana seharusnya menurut aturan Islam. Bukan berfikir sebagaimana adanya kehidupan yang saat ini dilakoni dan dipertontonkan di media massa dan kehidupan nyata kini yang penuh dengan kebinasaan alias sekuler. Tolong dicatat yah!

Ini penting dan perlu. Sebab, kalau yang berfikirnya “sebagaimana adanya kehidupan”, ya kita akan berfikir tentang hak-hak kebebasan. Misalnya ketika manusia itu dianggap berhak melakukan apa saja dalam kehidupan yang ada sekarang, yakni Kapitalisme-Sekularisme, maka tentu akan berbuat apa saja sesukanya (berzina, minum khamr, dadah, judi, couple dsb). Kerana merasa mereka berhak melakukan hal tersebut. Tidak terikat dengan aturan yang benar. Bahaya besar, Bro!

Sementara yang berfikirnya “sebagaimana seharusnya”, maka ia akan melaraskan akal dan perbuatannya dengan aturan yang benar. Kerana menganggap kehidupan yang ada ini harus sesuai aturan yang benar, gitu lho. Dan Islamlah yang benar. Bukan yang lain.

Itu sebabnya, ketika jatuh cinta pun kita harus tetap iffah alias menjaga kehormatan dan kesucian diri. Ibnu Abbas berkata bahawa orang yang jatuh cinta tidak akan masuk syurga kecuali ia bersabar dan bersikap iffah kerana Allah dan menyimpan cintanya kerana Allah. Dan, ini tidak akan terjadi melainkan apabila ia mampu menahan perasaannya kepada ma’syuq-nya (orang yang dicintainya), mengutamakan cinta kepada Allah, takut kepadaNya, dan redha denganNya. Orang seperti ini yang paling berhak mendapat derajat yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam al-Quran:

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (QS an-Naazi’aat [79]: 40-41)

Kita boleh dan wajar untuk jatuh cinta. Tapi, tetap harus menjaga kehormatan dan kesucian diri. Yakni dengan cara tetap menjadikan Allah dan RasulNya sebagai pemandu hidup kita. Kita melakukan perbuatan atas dasar petunjuk dari Allah melalui al-Quran dan petunjuk dari Rasulullah saw. berupa as-Sunnah. Inilah pedoman hidup kita. Okey?

... Aku Seorang Pecinta... wink

0 comments: