Renungan

Menakjubkan sungguh urusan orang yang beriman. Segala perkaranya adalah kebaikan, dan itu tidak terjadi kecuali pada orang beriman. Jika mendapat nikmat, ia bersyukur, dan syukur itu baik baginya. Jika ditimpa musibah dia bersabar, dan sabar itu baik baginya (HR. Abu Dawud & At-Tirmidzi)

Isnin, 15 September 2008

Ketika Salah Memaknai Cinta

Pada saat dan ketika saya menulis tulisan ini, saya masih berada di dalam bulan Ramadhan yang mulia, dimana ia adalah penghulu segala bulan (the leader month). Tidak henti-hentinya para malaikat dan jagat raya bertasbih dan bertahmid kepada Sang Pencipta, tidak terlepas dari sifatnya sebagai makhluk, tumbuh-tumbuhan, binatang dan seluruh jagat raya juga melakukan hal yang sama. Apakah kita tidak berfikir akan hal ini? Berlepas dari hal-hal kemakrufan tersebut, di sela-sela kesibukan kita untuk mendekatkan diri kepada Robbul Alamain, di dalam bulan yang mulia ini, saya melihat masih banyak remaja-remaja di luar sana yang masih tidak terkena aura Ramadhan. Ramadhan yang penuh dengan keberkatan ini dinodai dengan hal-hal yang maksiat. Buktinya, baru-baru ini lewat di sekitar Taman Tasik Titiwangsa (bukan mampir ya! Sekedar lewat aja lho), dada saya berdebar-debar melihat aksi-aksi makhluk di situ. Perbuatan bermadu asmara yang meng-atasnamakan cinta terus menodai kalimat suci tersebut. Bukan hanya itu, sikap rutinku di waktu malam hari ialah turun ke bawah rumah (rumahku kan rumah kedai) untuk membaca dan membuat sedikit resensi terhadap buku yang telah saya baca.

Pemandangan itu, sama seperti sebelumnya. Sama seperti sebelum hadirnya bulan yang mulia ini. Muda-mudi masih senang keluar makan dan minum bersama, tanpa memikirkan tentang halal dna haram di sisi islam, atau paling tidak mereka berasa malu terhadap bulan suci ini. Bulan yang penuh dengan barokah dan rahmat. Dibuka seluas-luasnya pintu keampunan, dan ditutupnya pintu-pintu neraka, agar kita menjadi hamba yang bersyukur di atas segala nikmat yang diberi. Cinta, cinta… oh cinta. Itulah alasan yang digunakan oleh akal waras mereka. Apakah kita tidak berfikir?

Cinta – Tanggapan Islam

Islam adalah deen yang sempurna, kerana bersumber dari dzat yang Maha Sempurna iaitu Allah SWT. Manusia diciptakan oleh Allah beserta segenap potensinya, termasuk naluri berkasih sayang (gharizah nau’).

Seperti dalam lirik-lirik lagu bahwa rasa cinta itu pasti ada pada makhluk yang bernyawa. Baik itu kepada sesama manusia, entah itu cinta kepada orang tua, saudara, lawan jenis bahkan dengan dirinya sendiri. Intinya, cinta adalah naluri fitrah yang sudah ada secara lumrahnya seiring dengan penciptaan manusiaitu sendiri.

Oleh kerana itu, Islam tidak pernah melarang untuk mencintai, cuma yang selalu jadi catatan adalah apa dan bagaimana aktiviti pemenuhan/penyaluran rasa cinta itu.

Ya, inilah point dari pembahasan tentang memaknai cinta ini. Manusia sering egois dengan membuat tafsir dan memaknai sendiri sesuai dengan hawa nafsunya terhadap hal yang menyangkut dirinya. Padahal mereka adalah makhluk yang lemah, dan belum mengenal hakikat dirinya sendiri. Akhirnya, cinta pun dimaknai dengan sebebas-bebasnya, diagung-agungkan sebagai sesuatu yang mutlak dipenuhi.

Hal ini sejalan dengan hasil pemikiran Sigmund Freud, seorang psikolog berasal dari Austria yang akhirnya mengubah makna cinta yang mulia menjadi semata urusan seksual, cinta yang harus disalurkan dengan sebebas-bebasnya agar manusia merasa bahagia.

Pandangan Freud inipun berpengaruh pada masyarakat dunia dan dengan disokong oleh media yang ikut mempropagandakan budaya hidup hedonis dan permissive ini.

Dalam Islam gharizah nau adalah fitrah manusia. Secara alamiah ada dalam dirinya dan terdorong untuk memenuhi/menyalurkannya. Dalam hal inilah Islam mengatur bagaimana aktiviti pemenuhan GN (Gharizah An-Nau’) yang benar sesuai syariat. Hal itu tidak lain hanyalah melalui sebuah ikatan suci pernikahan dan hanya berlaku kepada pasangan lawan jenis, lelaki dengan perempuan bukan sesama jenis seperti yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth.

Sebelum adanya ijab kabul, maka syariat membatasi pergaulan antara lawan jenis ini. Islam juga menetapkan bahwa arah hubungan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan adalah untuk melanjutkan keturunan.

Seperti firman Allah SWT, “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah yang menciptakan kalian dari satu jiwa. Dari jiwa itu Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak” (Q.S An-nisa: 1).

Lalu pertanyaannya, bagaimana kalau cinta dengan sesama jenis? kemungkinan umat ini akan lost generation seperti yang terjadi di negara barat yang melegalkan perkawinan sesama jenis.

Akhirnya, hanya satu kesimpulan bahwa fenomena buruk ini bukti semakin jauhnya Islam dengan umatnya. Saatnya kita tinggalkan sistem kapitalis sekuler yang rosak dan kufur ini.

Bangsa kita sudah penuh himpitan masalah dan berbagai bencana tak henti menimpa. Jangan sampai Allah menimpakan hukuman sebagaimana yang terjadi pada kaum Luth.

Solusi komprehensifnya adalah dengan kembali ke penerapan sistem Islam menjadi pemecah semua masalah dan yang pasti membawa maslahat dan redha Allah SWT. Sistem kapitalis yang menjadi penupang terhadap sega;a problematika umat kini perlu dilenyapkan dan diganti dengan Sistem Islam yang bersifat menyeluruh dan bukan sebahagian-sebahagian. Akidah sekuler diganti terus dengan akidah tauhid kepada Allah SWT, yang mana akidah ini akan memancarkan rahmatnya ke seluruh alam. Rahmat ini akan turut dirasai oleh non-muslim yang tunduk kepada hukum islam di dalam Daulah. Saat itu, tumbuh-tumbuhan dan binatang juga turut merasakan hal yang sama iaitu rahmat islam di diterapkan secara kaffah.

Wallahu'alam

0 comments: