Guys, anda sudah menikah dan telah memilih ranting dan pokok seperti Sang Filosof? (Baca Dilema Mencari Pasangan Part 1). Setelah letih mencari sebuah makna cinta, lalu berjuang untuk memilikinya, dan akhirnya kita mendapatkan apa yang diperjuangkan tersebut. Seorang isteri yang kita mahukan sebagai pendamping hidup. Namun, terdetik persoalan, benarkah, kriteria yang ada pada sang isteri adalah seperti yang kita bayangkan sebelum menikah? Maklum saja, sebelum menikah kita hanya nampak ‘luarannya’ tanpa melihat ‘dalamannya’. Gaya tidurnya yang berdengkur membuat kita tidak selesa, cita rasa masakannya yang tidak sejajar dengan kemahuan kita, membuat kita selalu hilang selera ketika makan, rancangan televisyen yang tidak sama dengan kita membuat kita jemu senantiasa, dan banyak lagi yang membuat kita berfikir, dan menerawang pandangan ke atas langit lalu berfikir sejenak. Dik, dak, dik, duk. Oh tuhan, beginikah hakikat pernikahan. (Baru kamu tahu ya... perjuangan dalam pernikahan, hehe. Rasakan lho!)
Secara fitrah, menikah akan memberikan ketenangan (ithmi'nan/ thuma’ninah) bagi setiap manusia, asalkan pernikahannya dilakukan sesuai dengan aturan Allah Swt., Zat Yang mencurahkan cinta dan kasih-sayang kepada manusia.
Hampir setiap Mukmin mempunyai harapan yang sama tentang keluarganya, iaitu ingin bahagia, alias sakinah mawaddah warahmah. Namun, sebahagian orang menganggap bahawa, untuk menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah yang berkekalan adalah sesuatu yang tidak mudah. Fakta-fakta buruk kehidupan berumah tangga yang terjadi di masyarakat seolah-olah makin memperkuat tanggapan negatif kehidupan berumah tangga. Bahkan, tidak jarang, sebahagian orang menjadi enggan menikah atau menunda-nunda pernikahannya.
Fahami Dulu Erti Sebuah Pernikahan Dong!
Sesungguhnya menikah itu bukanlah sesuatu yang menakutkan, hanya memerlukan perhitungan cermat dan persiapan matang saja, agar tidak menimbulkan penyesalan. Sebagai risalah yang syamil (menyeluruh) dan kamil (sempurna), Islam telah memberikan tuntunan tentang tujuan pernikahan yang harus difahami oleh umat islam. Tujuannya adalah agar pernikahan itu berkah dan bernilai ibadah serta benar-benar memberikan ketenangan bahagi suami-isteri. Dengan itu, akan terwujud keluarga yang bahagia dan berkekalan. Hal ini bisa diraih jika pernikahan itu berdiri atas dasar pemahaman Islam yang benar.
Menikah hendaknya diniatkan untuk mengikuti sunnah Rasullullah saw., melanjutkan keturunan, dan menjaga kehormatan. Menikah juga hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah, meneguhkan iman, dan menjaga kehormatan. Pernikahan merupakan sarana dakwah suami terhadap isteri atau sebaliknya, juga dakwah terhadap keluarga keduanya, kerana pernikahan bererti pula mempertautkan hubungan dua keluarga. Dengan begitu, jaringan persaudaraan dan kekerabatan pun semakin luas. Ini bererti, sarana dakwah juga bertambah. Pada skala yang lebih luas, pernikahan islami yang sukses tentu akan menjadi pilar penopang dan pengukuh perjuangan dakwah Islam, sekali gus tempat bersemainya para pejuang dakwah masa depan.
Inilah tujuan pernikahan yang seharusnya menjadi asas bagi setiap Muslim ketika hendak menikah. Kerana itu, siapa pun yang akan menikah hendaknya betul-betul mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk meraih tujuan pernikahan seperti yang telah digariskan Islam. Setidaknya, setiap Muslim, laki-laki dan perempuan, harus memahami konsep-konsep pernikahan islami seperti: aturan Islam tentang posisi dan peran suami dan isteri dalam keluarga, hak dan kewajipan suami-isteri, serta kewajipan orang tua dan hak-hak anak; hukum seputar kehamilan, nasab, penyusuan, pengasuhan anak, serta pendidikan anak dalam Islam. Ketentuan Islam tentang peran Muslimah sebagai isteri, ibu, dan pengurus rumah tangga sekali gus sebagai bahagian dari umat Islam secara keseluruhan, serta bagaimana jika kewajipan-kewajipan itu berbenturan pada saat yang sama; hukum seputar nafkah, waris, talak (cerai), rujuk, gugat cerai, hubungan dengan orang tua dan mertua, dan sebagainya. Semua itu membutuhkan penguasaan hukum-hukum Islam secara menyeluruh oleh pasangan yang akan menikah. Ertinya, menikah itu harus didasarkan pada ilmu. Bukan main hentam je ok?
Jadilah Sahabat yang Menyenangkan
Pernikahan pada dasarnya merupakan akad antara laki-laki dan perempuan untuk membangun rumah tangga sebagai suami-isteri sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Sesungguhnya kehidupan rumah tangga dalam Islam adalah kehidupan persahabatan. Suami adalah sahabat karib bahagi isterinya, begitu pula sebaliknya.
Keduanya benar-benar seperti dua sahabat karib yang siap berbahagi suka dan duka bersama dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka demi meraih tujuan yang diredhai Allah Swt. Isteri bukanlah sekadar ‘patner’ kerja bagi suami, apalagi bawahan atau pegawai yang bekerja untuk suami. Isteri adalah sahabat, belahan jiwa, dan tempat curahan hati bagi suaminya. Wah romantik dan sentimental kan? Begitulah seharusnya!
Islam telah menjadikan isteri sebagai tempat yang penuh ketenteraman bagi suaminya. Allah Swt. berfirman:
Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (QS. ar-Rum [30]: 21).
Maka dari itu, sudah selayaknya suami akan merasa tenteram dan damai jika ada isteri di sisinya, demikian pula sebaliknya. Suami akan selalu cenderung dan ingin berdekatan dengan isterinya. Di sisi isterinya, suami akan selalu mendapat semangat baru untuk terus menapaki jalan dakwah, demikian pula sebaliknya. Keduanya akan saling tertarik dan cenderung kepada pasangannya, bukan saling terasing dan berjauhan. Keduanya akan saling menasihati, bukan mencela. Saling menguatkan, bukan melemahkan. Saling membantu, bukan bersaing.
Di sisi yang lain, setiap pasangan harus selalu siap bersama untuk meningkatkan kualiti ketakwaannya demi meraih kemuliaan di sisi-Nya. Mereka berdua senantiasa berharap, Allah Swt. berkenan mengumpulkan keduanya di syurga kelak. Ini bererti, tabiat asli kehidupan rumah tangga dalam Islam adalah ithmi'nan/tuma’ninah (ketenangan dan ketenteraman). Walhasil, kehidupan pernikahan yang ideal adalah terjalinnya kehidupan persahabatan antara suami dan isteri yang mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman bahagi keduanya.
Untuk menjamin ketenangan dan ketenteraman tersebut, Islam telah menetapkan serangkaian aturan tentang hak dan kewajipan suami-isteri. Jika seluruh hak dan kewajipan itu dijalankan secara benar, terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah adalah suatu kepastian.
Bersabar atas Kekurangan & Perbedaan Pasangan
Sememangnya suatu perbedaan adalah lumrah di mana-mana. Antara baju dan seluar, fungsinya beda. Antara rumah banglo dan rumah teres sifatnya beda. Antara roti canai dan roti gardenia rasanya juga beda, hehe, dan begitulah seterusnya. Fungsi, sifat dan rasa antara satu kejadian dengan kejadian lainnya memang tidak sama. Punya kelainan tersendiri yang telah Allah SWT tetapkan. Manakala ketetapan itu semua tunduk di atas aturan Maha Pencipta. Begitulah kita dalam menyikapi semua kejadian yang ada di alam ini khususnya yang ada di depan mata kita.
Kerap terjadi, kenyataan hidup tidak seindah harapan. Begitu pula dengan kehidupan rumah tangga, tidak selamanya berlangsung tenang. Ada kalanya kehidupan suami-isteri itu dihadapkan pada berbagai masalah baik kecil mahupun besar, yang bisa mengusik ketenangan keluarga. Penyebabnya sangat beragam, bisa saja kerana kurangnya komunikasi antara suami-isteri, suami kurang makruf terhadap isteri, atau suami kurang perhatian kepada isteri dan anak-anak. Di pihak isteri, mungkin ia kurang pandai dan kurang kreatif menjalankan fungsinya sebagai isteri, ibu, dan pengurus rumah tangga, kerana adanya salah faham dengan mertua, atau suami yang 'kurang serius' atau 'kurang cekal' mencari nafkah. Penyebab lainnya adalah kerana tingkat pemahaman agama yang tidak seimbang antara keduanya. Apa yang lebih parah, jika keretakan rumah tangga adalah disebabkan sifat curang di antara kedua pasangan.
Sesungguhnya Islam tidak menafikan adanya kemungkinan terusiknya ketenteraman dalam kehidupan rumah tangga. Sebab, secara alami, setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti berhadapan pada berbagai persoalan. Hanya saja, seorang Muslim yang kukuh imannya akan senantiasa yakin bahawa Islam pasti mampu memecahkan semua masalah kehidupannya. Oleh kerana itu, dia akan senantiasa siap menghadapi masalah tersebut, dengan menyempurnakan ikhtiar untuk mencari solusinya dari Islam, seiring dengan doa-doanya kepada Allah Swt. Sembari berharap, agar dimudahkan dalam segala urusannya.
Keluarga yang sakinah mawaddah warahmah bukan bererti tidak pernah menghadapi masalah. Yang dimaksud adalah keluarga yang berdiri atas landasan Islam, dengan suami-isteri sama-sama menyedari bahawa mereka menikah adalah untuk ibadah dan untuk menjadi pilar yang akan mengukuhkan perjuangan Islam. Mereka siap menghadapi masalah apa pun yang menimpa rumah tangga mereka. Sebab, mereka tahu jalan keluar apa yang harus ditempuh dengan bimbingan Islam.
Islam telah mengajarkan bahawa manusia bukanlah malaikat yang selalu taat kepada Allah, tidak pula ma‘shum (terpelihara dari berbuat maksiat) seperti halnya para nabi dan para rasul. Manusia adalah hamba Allah yang memiliki peluang untuk melakukan kesalahan dan menjadi tempat berkumpulnya banyak kekurangan. Pasangan kita (suami atau isteri) pun demikian, memiliki banyak kekurangan. Oleh kerana itu, kadangkala apa yang dilakukan dan ditampakkan oleh pasangan kita tidak seperti gambaran ideal yang kita harapkan. Dalam situasi yang demikian, maka sikap yang harus diambil adalah bersabar! Bukan menjerit dan merengek seperti orang sedang kesakitan ok?
Sabar adalah salah satu perbuatan akhlak yang mulia, iaitu wujud ketaatan hamba terhadap perintah dan larangan Allah Swt. Sabar adalah sebahagian hukum syariat yang diperintahkan oleh Islam. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 153; QS az-Zumar [39]: 10).
Makna kesabaran yang dimaksudkan adalah kesabaran seorang Mukmin dalam rangka ketaatan kepada Allah, dalam menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya ketika menghadapi ujian dan cubaan, termasuklah saat kita dihadapkan pada 'kekurangan' pasangan (suami atau isteri) kita.
Namun demikian, kesabaran dalam menghadapi 'kekurangan' pasangan kita harus dicermati dulu faktanya. Pertama, Jika kekurangan itu berkaitan dengan kemaksiatan yang menyebabkan adanya kelalaian terhadap kewajipan atau justeru melanggar larangan Allah Swt. Maka dalam hal ini, wujud kesabaran kita adalah dengan menasihatinya secara makruf serta mengingatkannya untuk tidak melalaikan kewajipannya dan agar segera meninggalkan larangan-Nya. Contoh pada suami: jika suami tidak berlaku makruf kepada isterinya, tidak menghargai isterinya, bukannya memuji tetapi justeru suka mencela, tidak menafkahi isteri dan anak-anaknya, enggan melaksanakan shalat fardhu, enggan menuntut ilmu, atau malas dalam berdakwah. Contoh pada isteri pula: isteri tidak taat pada suami, melalaikan pengasuhan anaknya, melalaikan tugasnya sebagai pengurus rumah tangga (rabb al-bayt), sibuk berkarier, atau mengabaikan upaya menuntut ilmu dan aktiviti amar makruf nahi mungkar. Sabar dalam hal ini tidak cukup dengan berdiam diri saja atau ‘selambe je’ dengan apa yang dilakukan oleh pasangan kita, tetapi harus ada upaya maksimal menasihatinya dan mendakwahinya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, kita senantiasa mendoakan pasangan kita kepada Allah Swt.
Kedua: Jika kekurangan itu berkaitan dengan hal-hal yang mubah maka hendaknya dikomunikasikan secara makruf di antara suami-isteri. Contoh: suami tidak terlalu romantis bahkan cenderung aneh; miskin akan pujian terhadap isteri, padahal sang isteri mengharapkan itu; isteri kurang pandai menata rumah, walaupun sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi tetap saja kurang estetikanya, sementara sang suami adalah orang yang kemas dan rapi; isteri kurang bisa memasak walaupun dia sudah berupaya maksimal menghasilkan yang terbaik; suami “cara bicaranya” kurang lembut dan cenderung bernada instruksi sehingga kerap menyinggung perasaan isteri; isteri tidak bisa berdandan untuk suami, model rambutnya kurang bagus, hasil cucian dan seterikaannya kurang rapi; dan sebagainya. Dalam hal ini kita dituntut bersabar untuk berkomunikasi tentang hal tersebut, memberikan masukan (nasihat dan saran), serta mencari jalan keluar bersama pasangan kita. Jika upaya sudah maksimal tetapi belum juga ada perubahan, maka terimalah itu dengan lapang dada seraya terus berdoa kepada Allah Swt. (Lihat: QS an-Nisa' [4]: 19). Rasulullah saw. bersabda:
Janganlah seorang suami membenci isterinya. Jika dia tidak menyukai satu perangainya maka dia akan menyenangi perangainya yang lain. (HR Muslim).
Inilah tuntunan Islam yang harus difahami oleh setiap Mukmin yang ingin rumah tangganya diliputi dengan kebahagiaan, cinta kasih, ketenteraman, dan langgeng. Agar dilema menjadi yakin, agar kecewa bertukar pasrah, agar pertanyaan menjadi jawapan! Fahamilah, bahawa pernikahan bukanlah permainan, tetapi perjuangan yang memerlukan pengorbanan dan ketaatan. Saksikan, aku bangga telah menikah!
Wallahu’alam...
0 comments:
Catat Ulasan