Anda sukar mencari pasangan hidup? Atau telah berjumpa dengan calon untuk menjadi pasangan hidup, tetapi kita menjadi bingung dengan pilihan yang kita ada. Sejumlah pertanyaan bermain di benak fikiran kita, benar kah si dia adalah pilihan yang tepat bagi kita atau kah sebaliknya? Atau kah mungkin suatu hari nanti kita bakal bertemu dengan calon yang lebih baik orangnya, lebih baik akhlaknya, lebih cantik orangnya dan lebih kaya materinya. Para wanita tentu mendambakan lelaki yang tidak kalah tampan parasnya, mungkin mencari yang setampan Tom Cruise, atau Shah Rukh Khan, hehe... dan yang pasti adalah mereka menanti pasangan yang benar-benar memenuhi kriteria dan standard yang telah mereka tetapkan.
Sejumlah pertanyaan dan teka-teki di atas sering membuat kita susah untuk mencari calon pasangan hidup dan akhirnya menuju pernikahan. Kadang kita berada di satu titik yang sudah selesa dengan apa yang dimiliki (pasangan), namun kita berasa kurang tatkala melihat kelebihan yang dimiliki oleh pasangan lain namun tidak dimiliki oleh pasangan kita. Semua ini akan menyebabkan kita bakal memutuskan untuk berikhtiar lagi ke depan dan menolak mentah-mentah calon yang sudah ada. Sememangnya realiti yang saya sampaikan itu terjadi pada teman-teman saya dan saya yakin di luar sana pasti ada yang pernah mengalaminya.
Belajar Dari Kisah Plato
Satu hari, Plato bertanya kepada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?” Gurunya menjawab, “ada ladang gandum yang luas di depan sana. Berjalanlah kamu dan jangan sesekali mundur, kemudian ambilah satu ranting saja. Jika kamu telah menemukan ranting yang menakjubkan, ia bererti kamu telah menemukan cinta”. Plato pun berjalan, dan tidak lama kemudian dia kembali dengan tangan kosong tanpa membawa apa pun.
Lalu gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa sebatang ranting pun?”, Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu ranting dan saat aku berjalan tidak boleh mundur”. Sambungnya lagi, “Sebenarnya, aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan di depan sana, jadi tak ku-ambil ranting tersebut. Saat aku melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi, baru kusedari bahawasanya ranting-ranting yang kutemukan tidak sebagus yang tadi, jadi tak kuambil sebatang pun pada akhirnya”. Gurunya menjawab, “Jadi, ya... itulah cinta”.
Pada hari yang lain, Plato bertanya lagi kepada gurunya, “Apa itu perkahwinan?, Bagaimana saya bisa menemukannya? Gurunya menjawab, “Ada hutan yang subur di depan sana, berjalanlah kamu tanpa bisa mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon. Kemudian, tebanglah jika kamu menemukan pohon yang kamu rasakan paling tinggi, kerana ia bererti kamu telah menemukan apa itu perkahwinan”.
Plato pun berjalan, dan tidak lama kemudian dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar atau subur malah tidaklah tinggi. Pohon tersebut kelihatannya sangat biasa. Lalu gurunya pun bertanya, “Mengapa kamu menebang pohon yang seperti itu?”, Plato menjawab, “sebab, berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi, ketika ada kesempatan aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah teruk sangat kondisinya. Lalu, kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya ke sini. Aku tidak mahu menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya”. Gurunya menjawab, “Ya... itulah perkahwinan”.
Cerita tersebut saya ambil dari sebuah buku-buku bacaan saya satu ketika dulu. Namun, saya belum sempat untuk memperhatikan ‘sanad’ dan ‘derajat periwayatannya’. Namun demikian, kisah di atas amat relevan dengan kisha cinta dan perkahwinan anak manusia.
Pernikahan memang pelabuhan dua hati. Ia membutuhkan sepasang manusia untuk tiba di sana. Tapi, seperti yang dialami oleh filsuf yunani (Plato) di atas, jatuh cinta dan menikah bisa jadi tidak sama. Untuk jatuh cinta, orang sering berandai-andai akan menemukan sosok ideal yang lebih baik, paling baik dan seterusnya. Kekasih yang OK luar dan dalam, zahir dan batin lho.
Demi mendapatkan tambatan hati, kita sering melakukan pencarian dengan kriteria dan standard yang telah kita pasang. namun, setelah kita menemukan pasangan tersebut, dan dekat dengannya, maka akan ada saja alasan lain untuk mengatakan bahawa dia bukanlah yang kita cari. Kita terlalu berhati-hati dan selektif dalam hal ini. Alasannya adalah persis seperti yang dialami oleh Plato Sang Filsuf. Ia berjaga-jaga (baca : takut) dan khawatir nanti di depan sana akan ada ‘ranting’ yang jauh lebih baik. Kita terlalu khawatir seandainya ada orang lain yang lebih baik menawarkan cintanya kepada kita. Gimana kalau ternyata di fulan atau fulanah sebenarnya juga mengharapkan cinta kita? Gimana kalau ternyata dia adalah orang yang paling cocok dengan kriteria yang kita inginkan? Sejumlah pertanyaan dan teka-teki sering bermain dalam benak fikiran kita.
Plus-Minus Pasangan Kita
Mempunyai dan memiliki keinginan untuk mencari yang terbaik dalam kehidupan bukanlah satu kesalahan, malah ia satu keharusan. Apatah lagi ia menyangkut hal pernikahan. Pasangan kita bakal menjadi ayah dan ibu kepada anak-anak kita. Kalau hanya memilih sekadarnya saja, penyesalan mungkin bakal menyusul di kemudian hari. Tapi sedarlah wahai teman, bahawa sesungguhnya lelaki dan wanita di muka bumi ada yang bermacam-macam-macam karektor, sifat, fizik dan keperibadiannya. Ada yang rupawan tapi ibadahnya kurang meyakinkan. Ada yang penghasilannya lumayan tapi kurang tampan/jelita. Ada yang ibadahnya mengagumkan tapi penampilannya kurang sedap dipandang. Hakikatnya, tidak ada orang yang sempurna di atas muka bumi ini. Ada kata-kata gurauan dari saudara saya, “Mencari calon isteri yang cantik, kaya dan solehah itu tidak susah, yang susah itu adalah yang ingin menikah menikah dengan kita”. Benar juga ya?
Kembali pada kisah Plato, ketika ia berasa yakin bakal menemukan ranting terbaik di ladang gandum, justeru akhirnya ia tidak mendapatkan apa-apa. Sementara untuk mundur mengambil ranting terbaik yang pertama dilihatnya adalah mustahil. Sang Guru melarang hal itu. Analoginya adalah, saat kita menolak seseorang, jelas tidak mudah untuk kembali kepadanya. Bahkan hampir-hampir mustahil. Kita mungkin berasa tebal muka untuk memujuk rayu kembali. Banyak orang yang mendapat pengalaman seperti kisah plato tersebut. Setelah bertualang mencari puteri impian, tetapi hasilnya adalah hampa semata. Hampir-hampir mustahil untuk mendapat Putera Raja atau Puteri Impian. Seperti bunyi anekdot lucu, “Jika seseorang mencari pasangan yang rupawan, pengertian dan jenaka sekali gus berpendapatan lumayan, yang ia cari sebenarnya bukan suami/isteri, tapi televisyen”. Haha.
Bersambung...
Sejumlah pertanyaan dan teka-teki di atas sering membuat kita susah untuk mencari calon pasangan hidup dan akhirnya menuju pernikahan. Kadang kita berada di satu titik yang sudah selesa dengan apa yang dimiliki (pasangan), namun kita berasa kurang tatkala melihat kelebihan yang dimiliki oleh pasangan lain namun tidak dimiliki oleh pasangan kita. Semua ini akan menyebabkan kita bakal memutuskan untuk berikhtiar lagi ke depan dan menolak mentah-mentah calon yang sudah ada. Sememangnya realiti yang saya sampaikan itu terjadi pada teman-teman saya dan saya yakin di luar sana pasti ada yang pernah mengalaminya.
Belajar Dari Kisah Plato
Satu hari, Plato bertanya kepada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?” Gurunya menjawab, “ada ladang gandum yang luas di depan sana. Berjalanlah kamu dan jangan sesekali mundur, kemudian ambilah satu ranting saja. Jika kamu telah menemukan ranting yang menakjubkan, ia bererti kamu telah menemukan cinta”. Plato pun berjalan, dan tidak lama kemudian dia kembali dengan tangan kosong tanpa membawa apa pun.
Lalu gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa sebatang ranting pun?”, Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu ranting dan saat aku berjalan tidak boleh mundur”. Sambungnya lagi, “Sebenarnya, aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan di depan sana, jadi tak ku-ambil ranting tersebut. Saat aku melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi, baru kusedari bahawasanya ranting-ranting yang kutemukan tidak sebagus yang tadi, jadi tak kuambil sebatang pun pada akhirnya”. Gurunya menjawab, “Jadi, ya... itulah cinta”.
Pada hari yang lain, Plato bertanya lagi kepada gurunya, “Apa itu perkahwinan?, Bagaimana saya bisa menemukannya? Gurunya menjawab, “Ada hutan yang subur di depan sana, berjalanlah kamu tanpa bisa mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon. Kemudian, tebanglah jika kamu menemukan pohon yang kamu rasakan paling tinggi, kerana ia bererti kamu telah menemukan apa itu perkahwinan”.
Plato pun berjalan, dan tidak lama kemudian dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar atau subur malah tidaklah tinggi. Pohon tersebut kelihatannya sangat biasa. Lalu gurunya pun bertanya, “Mengapa kamu menebang pohon yang seperti itu?”, Plato menjawab, “sebab, berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi, ketika ada kesempatan aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah teruk sangat kondisinya. Lalu, kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya ke sini. Aku tidak mahu menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya”. Gurunya menjawab, “Ya... itulah perkahwinan”.
Cerita tersebut saya ambil dari sebuah buku-buku bacaan saya satu ketika dulu. Namun, saya belum sempat untuk memperhatikan ‘sanad’ dan ‘derajat periwayatannya’. Namun demikian, kisah di atas amat relevan dengan kisha cinta dan perkahwinan anak manusia.
Pernikahan memang pelabuhan dua hati. Ia membutuhkan sepasang manusia untuk tiba di sana. Tapi, seperti yang dialami oleh filsuf yunani (Plato) di atas, jatuh cinta dan menikah bisa jadi tidak sama. Untuk jatuh cinta, orang sering berandai-andai akan menemukan sosok ideal yang lebih baik, paling baik dan seterusnya. Kekasih yang OK luar dan dalam, zahir dan batin lho.
Demi mendapatkan tambatan hati, kita sering melakukan pencarian dengan kriteria dan standard yang telah kita pasang. namun, setelah kita menemukan pasangan tersebut, dan dekat dengannya, maka akan ada saja alasan lain untuk mengatakan bahawa dia bukanlah yang kita cari. Kita terlalu berhati-hati dan selektif dalam hal ini. Alasannya adalah persis seperti yang dialami oleh Plato Sang Filsuf. Ia berjaga-jaga (baca : takut) dan khawatir nanti di depan sana akan ada ‘ranting’ yang jauh lebih baik. Kita terlalu khawatir seandainya ada orang lain yang lebih baik menawarkan cintanya kepada kita. Gimana kalau ternyata di fulan atau fulanah sebenarnya juga mengharapkan cinta kita? Gimana kalau ternyata dia adalah orang yang paling cocok dengan kriteria yang kita inginkan? Sejumlah pertanyaan dan teka-teki sering bermain dalam benak fikiran kita.
Plus-Minus Pasangan Kita
Mempunyai dan memiliki keinginan untuk mencari yang terbaik dalam kehidupan bukanlah satu kesalahan, malah ia satu keharusan. Apatah lagi ia menyangkut hal pernikahan. Pasangan kita bakal menjadi ayah dan ibu kepada anak-anak kita. Kalau hanya memilih sekadarnya saja, penyesalan mungkin bakal menyusul di kemudian hari. Tapi sedarlah wahai teman, bahawa sesungguhnya lelaki dan wanita di muka bumi ada yang bermacam-macam-macam karektor, sifat, fizik dan keperibadiannya. Ada yang rupawan tapi ibadahnya kurang meyakinkan. Ada yang penghasilannya lumayan tapi kurang tampan/jelita. Ada yang ibadahnya mengagumkan tapi penampilannya kurang sedap dipandang. Hakikatnya, tidak ada orang yang sempurna di atas muka bumi ini. Ada kata-kata gurauan dari saudara saya, “Mencari calon isteri yang cantik, kaya dan solehah itu tidak susah, yang susah itu adalah yang ingin menikah menikah dengan kita”. Benar juga ya?
Kembali pada kisah Plato, ketika ia berasa yakin bakal menemukan ranting terbaik di ladang gandum, justeru akhirnya ia tidak mendapatkan apa-apa. Sementara untuk mundur mengambil ranting terbaik yang pertama dilihatnya adalah mustahil. Sang Guru melarang hal itu. Analoginya adalah, saat kita menolak seseorang, jelas tidak mudah untuk kembali kepadanya. Bahkan hampir-hampir mustahil. Kita mungkin berasa tebal muka untuk memujuk rayu kembali. Banyak orang yang mendapat pengalaman seperti kisah plato tersebut. Setelah bertualang mencari puteri impian, tetapi hasilnya adalah hampa semata. Hampir-hampir mustahil untuk mendapat Putera Raja atau Puteri Impian. Seperti bunyi anekdot lucu, “Jika seseorang mencari pasangan yang rupawan, pengertian dan jenaka sekali gus berpendapatan lumayan, yang ia cari sebenarnya bukan suami/isteri, tapi televisyen”. Haha.
Bersambung...
4 comments:
bila kita inginkan pasangan kita sempurna seperti yang kita impikan berarti kita telah memilih segala kekurangannya..dan harus berani untuk itu..karena setiap kesempurnaan tiada lain selepas itu adalah kekurangan dan kemunduran dan ketidak puasan hati..itulah resikonya..lain halnya bila anda menerima seadanya dan tahu akan kekurangannya bererti anda menggerakkannya kearah kemajuan dan itulah nilai kesempurnaa..disitu anda akan melihat dan nampak selalu kewaspadaan, keterbukaan,dan tolak ansur..dengan fakta bahwa kedua orang tuanya telah mendidiknya sekian sekian tahun..namun sidia masih tahap itu juga..apakah kita yang baru setahun dua lebih berkemampuan dari orang tuanya..?
syukron... penuh dgn falsafah akhi :-)
memberi pengajaran yang cukup mendalam.....tiada berkumpul sekalian kesempurnaan pada diri seorang manusia....tapi kalo serba kekurangan juga tentu terlalu menyusahkan....Ah berbahagialah sesiapa yg ditakdirkan pasangan yg cukup pakejnya......cantik, bijak dan taat beragama...
salam dari kak cik...
sori..baru baca postingan yg ini, n really want to jot a comment!
It's Hillarious, but Very TRUE!
Jika seseorang mencari pasangan yang rupawan, pengertian dan jenaka sekali gus berpendapatan lumayan, yang ia cari sebenarnya bukan suami/isteri, tapi televisyen!
Aku suka btol yang nie... hahaha!
So, i dont have to search everywhere for a perfect person. I will sit back and relax in front of my dearly TV! hahahah! Yes.."Mom... I already got married!" hahahaha...
Catat Ulasan