Renungan

Menakjubkan sungguh urusan orang yang beriman. Segala perkaranya adalah kebaikan, dan itu tidak terjadi kecuali pada orang beriman. Jika mendapat nikmat, ia bersyukur, dan syukur itu baik baginya. Jika ditimpa musibah dia bersabar, dan sabar itu baik baginya (HR. Abu Dawud & At-Tirmidzi)

Jumaat, 28 Mac 2008

Peranan 2 Golongan

Baik buruknya moral masyarakat banyak ditentukan oleh moral para pemimpinnya, iaitu para ulama dan penguasa. Rasulullah Saw bersabda:

“Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik, maka akan baiklah masyarakat. Tetapi bila keduanya rosak, maka akan rosaklah manusia itu. Kedua golongan manusia tersebut iaitu ulama dan penguasa.” [HR. Abu Naim].

Manusia juga ada dua kelompok. Kelompok pertama, kelompok yang mengikuti jejak ulama, patuh kepada ajaran-ajaran yang dibawakannya, serta merasa terikat dengan hukum dan peraturan Islam. Mereka bekerja membantu ulama dalam memerangi musuh-musuh Islam, membanteras segala kemaksiatan, demi tercapainya kebaikan dan kemakmuran bersama. Kelompok kedua, adalah kelompok orang yang tunduk di bawah perintah para penguasa, takut untuk melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan, sekalipun ia perkara yang haq. Mereka selalu mencari perlindungan penguasa dan mengajak manusia untuk mematuhi peraturan yang diterapkan ke atas mereka.

Di antara ulama ada yang patut diteladani, kerana hatinya baik, sopan santun dan berakhlak luhur, cinta keadilan dan benci kezaliman, berlaku jujur dan benar pada semua manusia hatta dirinya sendiri. Segala permasalahan yang ditimbulkan oleh penguasa zalim selalu dihadapinya dengan penuh keimanan dan keyakinan yang didasarkan argumentasi syariat yang kuat dan mantap. Apabila melihat penguasa yang angkuh dan melanggar batas-batas kemanusiaan, ulama itu memberinya nasihat agar dia kembali ke jalan yang benar.

Ada pula penguasa yang adil, bertakwa kepada Allah, imannya kuat dan teguh. Dia menghabiskan waktu siang dan malamnya untuk berkhidmat kepada rakyat dengan memperhatikan segala keluhan dan keperluan mereka. Penguasa yang selalu ikhlas membela Islam, sangat marah apabila kehormatan Islam diinjak-injak dan sedih bila syiar-syiar Islam dinodai. Dia merasa senang bila keadilan ditegakkan, dan sangat tersinggung bila terjadi suatu penganiayaan (kezaliman). Semua itu kerana dia merasa memikul tanggung jawab terhadap rakyatnya. Dia selalu ingat kepada sabda Rasulullah yang berbunyi:

“Setiap kalian adalah penggembala dan semua akan ditanya tentang penggembalaannya, dan seorang Imam (ketua negara) dia akan ditanya tentang gembalaannya.” [HR. Al-Bukhari].

Bagi penguasa seperti ini, orang tua di antara umat Islam dianggap sebagai orang tuanya, yang muda dianggap sebagai saudaranya, dan yang kecil dianggap sebagai anaknya. Dengan demikian maka hakikat pembangunan dalam semua aspek, baik fizik mahupun mental, dapat dirasakan manfaatnya oleh semua anggota masyarakat.

Tetapi, tidak jarang terjadi bahawa kedua golongan manusia ini, yakni ulama dan penguasa, situasinya bertolak belakang dengan sifat-sifat yang telah disebutkan di atas. Para ulama hanya pasif, berdiam diri dan menutup mata atas segala apa yang diperbuat oleh penguasa yang zalim. Sedangkan para penguasa cenderung untuk berbuat fasik, bertindak sewenang-wenangnya terhadap rakyat, dan mengikuti hawa nafsunya.

Menurut pendapat sebahagian ulama, kemungkaran yang sudah demikian hebatnya sudah sulit untuk dicegah. Nasihat dan teguran sudah tidak ada harganya lagi. Oleh kerana itu, sikap diam adalah satu-satunya jalan untuk berada dalam selamat. Padahal akibat dari sikap diam itu justeru menjadikan dekadensi moral alias kemerosotan akhlak masyarakat semakin bertambah luas. Masyarakat semakin tuli terhadap nasihat, buta terhadap kebenaran, dan hatinya semakin terkunci untuk menerima keadilan. Para ulama semakin tidak berdaya menahan momentum pergaulan bebas yang merangsang manusia untuk lebih berani berbuat kezaliman, kerosakan dan kemungkaran. Tentu saja sikap berdiam diri itu tidak dibenarkan kerana para ulama itu adalah penerus amanat risalah Nabi Muhammad Saw. Seolah-olah mereka lupa akan firman Allah SWT yang berbunyi:

Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.” (Qs. al-A’râf [7]: 164).

Justeru ayat tersebut menjelaskan sikap para ulama sekali gus misi mulia mereka yakni menjadikan masyarakat bertakwa.

Memang dewasa ini, akibat modernisasi yang tidak berlandaskan akidah Islam, akibatnya meteor kezaliman dalam segala corak dan bentuknya telah mendominasi negeri-negeri kaum muslimin. Sehingga kerosakan moral melanda dalam segala aspek kehidupan manusia, kemungkaran dilakukan secara terang-terangan bahkan orang merasa bangga melakukan perbuatan yang terkutuk. Para ulama merasa kewalahan (tidak mampu) menghadapi situasi yang serba sulit ini, sehingga mereka mengambil sikap sendiri-sendiri. Ada yang tinggal diam melepaskan tanggung jawabnya sebagai ulama, kerana merasa cukup dengan hanya melaksanakan ibadah formal, manakala hiruk pikuk yang terjadi di dalam masyarakat tidak dihiraukannya. Ada juga para ulama yang menjadi penyambung lidah para penguasa, mendukung dan membenarkan segala tindakan mereka. Ulama yang lain ada yang hanya pandai berceramah tetapi terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan ibadah formal seperti solat, zakat dan sebagainya. Namun tidak berani menyinggung situasi yang sedang terjadi sebagai akibat dari kebijakan dan langkah penguasa yang zalim. Bahkan ada yang lebih parah lagi, sebahagian ulama ada yang menganut idea sosialis atau kapitalis ala Barat dan mendukungnya dengan mencari-cari dalil dari ajaran Islam yang dipaksa-paksakan, seolah-olah idea tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Sikap dan tindakan para ulama tersebut tidak boleh dibiarkan atau dibenarkan begitu sahaja. Sebagai pewaris dan pembawa risalah dakwah Nabi, seharusnya mereka melaksanakan amar makruf nahi mungkar dengan tetap bertawakal kepada Allah. Kondisi ini perlu kita cermati tatkala mengingat Rasulullah Saw bersabda:

“Akan datang penguasa-penguasa yang fasik dan jahat. Siapa saja yang percaya dengan kebohongannya dan membantu kezalimannya, maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak akan masuk ke telagaku di syurga.” [HR. At-Tirmidzi].

Amirul Mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata:

“Rasanya tulang-tulang punggungku hancur kerana dua orang, yang satu orang alim bermuka tebal, dan yang satu lagi seorang jahil yang berpura-pura menjadi ahli ibadah. Yang pertama menipu manusia dengan ilmunya, dan yang kedua menipu manusia dengan ibadahnya.”

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin mengatakan:

“Ulama itu ada tiga macam. (1) Ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain dengan mengejar-ngejar kesenangan dunia. (2) Ulama yang menyelamatkan dirinya dan orang lain dengan menyeru manusia untuk berbakti kepada Allah SWT secara lahir dan batin. (3) Dan ulama yang membinasakan dirinya tetapi menyelamatkan orang lain. Pada zahirnya dia memanggil manusia untuk mengerjakan kebaikan, tetapi secara diam-diam dia sendiri hanya mengejar-ngejar harta untuk mencari kekayaan dan kedudukan dunia. Maka hendaklah kita memuhasabah diri masing-masing, termasuk ke dalam golongan manakah kita di antara tiga macam ulama itu.”

Sejarah perjuangan dan keberhasilan para ulama terdahulu terukir kerana mereka benar-benar merasa bertanggung jawab terhadap umat di hadapan Allah SWT. Mereka berjuang menegakkan amar makruf nahi mungkar serta tidak gentar menghadapi segala macam tantangan dan ancaman yang dilancarkan oleh para penguasa yang zalim dan bengis. Mereka percaya dan bertawakal, bahawa hanyalah Allah SWT satu-satunya penolong dan pelindung. Mereka rela menerima takdir ilahi dan senantiasa memohon agar kelak kembali ke sisi-Nya dalam keadaan syahid. Mereka mengikhlaskan niat dan amal ibadahnya semata-mata hanya untuk Allah. Ucapan dan perkataan mereka sesuai dengan amal perbuatan mereka, sehingga benar-benar dapat meninggalkan bekas yang baik dalam hati para penguasa dan mempengaruhi hati itu untuk meninggalkan kezaliman dalam kekuasaannya.

Tetapi di zaman di mana kerakusan hawa nafsu sangat menonjol dalam hati para penguasa, mereka telah berhasil mengunci dan membisukan mulut para ulama. Akibatnya, ucapan para ulama itu sudah tidak sesuai lagi dengan amal perbuatannya. Itulah sebabnya para ulama menjadi gagal dalam membawa misinya. Seandainya para ulama berdiri tegak dan benar-benar melaksanakan tugas dan kewajipannya, sudah tentu sekali mereka akan berhasil. Kerana harapan umat senantiasa digantungkan kepada para ulama dan penguasanya. Bila kedua-duanya rosak, tentu umat akan rosak pula.

Untuk mengetahui apakah seorang ulama itu baik atau tidak, begitu pula apakah seorang penguasa itu adil atau zalim, akan tampak pada pengamalannya terhadap hukum-hukum syariah. Segala sikap, perilaku, dan amal para ulama dan penguasa harus diukur dengan takaran syariah Islam, dan harus dilihat dengan kaca mata Islam. Dengan itu dapat diketahui baik buruknya sifat dan sikap mereka terhadap Islam; dan bagaimana cara mereka menerapkan hukum-hukum syariah serta tanggung jawab mereka dalam memikul/mengemban dakwah Islam di kalangan umat. Dengan demikian akan terciptalah suatu kehidupan masyarakat yang baik, aman dan teratur. Sebaliknya, jika para ulama dan penguasa mengingkari sifat-sifat kebaikan tersebut, maka yang akan terjadi justeru sebaliknya, iaitu kerosakan, kemungkaran, kebodohan, dan kezaliman.

Dalam hiruk pikuk kempen pilihanraya negara baru-baru ini yang melibatkan para penguasa dan ulama di negara Malaysia, kita berharap agar semua rakyat muslim di negeri ini merenungkan petunjuk ajaran Islam yang berkaitan dengan ulama dan penguasa di atas, dan menjadikan syariah Islam sebagai standard dalam memilih pemimpin mereka. Para ulama, dengan segenap ilmu syariahnya, khususnya fiqh siyasah, hendaknya tampil memberikan rambu-rambu kepada umat mahupun calon kepala negara, bukan tampil gegap gempita hanya untuk pembebek dan pengampu yang pragmatis, lebih-lebih bila tampak kehilangan nuansa ideologis (akidah islam). Jika tidak, maka jangan heran bila kondisi kita ke depan bakal jauh lebih buruk dari hari ini, Na’udzbillahi mindzalik!

Read More..

Khamis, 27 Mac 2008

Saat-saat Jatuh Cinta...

Pernah jatuh cinta? Bagaimana rasanya? Pasti bahagia bukan? Terasa terang dunia. Bahkan hari-hari yang dilalui pasti terasa sungguh nikmat alias happy kan? Rasanya tidak lengkap jika tidak menceritakan kepada teman-teman, bahawasanya kita sedang jatuh cinta. Agar mereka juga dapat merasakan apa yang kita rasakan tentang erti hidup yang diiringi cinta. Jika berpeluang, setiap saat dan waktu kita berasa senang jika menceritakan tentang si dia, bahawa kita sedang mencintainya walau dia tidak tahu bahawa kita sedang mencintainya dengan segunung harapan dan cita-cita. Ketika itu, kita begitu yakin untuk mencari jalan agar dapat mendekati si dia.

Anda kenal apa itu Cinta? Di sekitar kita, sudah terlalu banyak lagu digubah, puisi ditulis, dan kanvas dilukis untuk menggambarkan cinta. Tapi apakah cinta itu sebenarnya? Tentunya seorang pelukis akan berbeza dengan seorang pencipta lagu dalam menjelaskan cinta. Bahkan setiap orang akan mendefinisikan cinta dengan cara dan metodologi yang berbeza. Iya lumrah bukan?

Sahabatku sekalian...mengapa kita berasa senang dan bahagia ketika sedang jatuh cinta (atau lebih tepatnya sedang dilamun cinta)? Menurut Robert Stenberg, cinta adalah sebuah kisah, kisah yang ditulis oleh setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan keperibadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Ada kisah tentang perang memperebutkan kekuasaan, misteri, permainan dan sebagainya. Kisah pada setiap orang berasal dari “skenario” yang sudah dikenalnya, baik pengalaman (al-maklumatu as-tsabiqoh) tersebut melalui orang tua, pengalaman, cerita dan sebagainya. Kisah ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam sebuah hubungan. (http://e-psikologi.com, pada pembahasan tentang “Cinta”)

Ketika jatuh cinta, kita tiba-tiba merasakan dorongan ingin bertemu dengan orang yang kita cintai. Dorongan itu bahkan sangat kuat menekan dan bergejolak tatkala ada orang yang membicarakan si dia, atau ada orang yang menyebutkan namanya, lebih lucunya ketika membaca tulisan yang kemudian menuliskan sebuah nama yang sama dengan nama orang yang kita cintai (jangan tipu, dengan mengatakan tidak!). Kita jadi rindu dan teringin untuk bertemu, atau sekadar ingin berkomunikasi dengannya. BTW, pernah melalui perasaan ini tidak? Jika tidak, koreksi diri status jantina anda dulu, hehe...

Tapi anehnya, sering kali juga merasa harus "jual mahal" alias jaga imej. Walaupun ketika itu, cinta yang menebal mendorong kita untuk mencurahkan cinta kepada si dia. Lucu memang lucu, tapi itulah hakikatnya. Ini bererti, jatuh cinta itu sememangnya unik. Tapi dengan catatan, jika sang pencinta itu adalah seorang yang pemalu... tapi kebiasaannya memang semuanya malu kan? Meskipun zaman sudah berubah keadaan dan prasananya, tapi cinta sememanya tidak mudah dilafazkan. Kecuali bagi mereka yang kurang harga diri, dan terlalu gentlemen.

Sahabatku sekalian... ketika jatuh cinta, kita seolah-olah berubah menjadi orang yang lembut (bukan pondan) dan peramah. Kita mula belajar cara bertutur kata dan mengatur pilihan kata yang cermat saat berbicara. Terutama apabila kita berbicara dengan si dia yang telah membuat kita jatuh cinta. Itu kita lakukan adalah untuk mendapat perhatiannya. Untuk memberi imej bahawa kita amat baik orangnya di hadapan si dia. Pada akhirnya, adalah tidak mustahil bahawa kita akan meraih simpati dari si dia. Awalnya memang simpati, siapa tahu lama-kelamaan ia berubah menjadi empati dan akhirnya berevolusi kepada jatuh hati. Tidak mustahil bukan?

Karakter Cinta

Jatuh cinta membuat kita merasa harus menumbuhkan perhatian, merasa harus bertanggung jawab, merasa harus hormat di hadapan orang yang kita cintai, dan merasa harus mengetahui segala selok-belok tentang dirinya. Erich From, murid kesayangan Sigmund Freud pernah menuturkan bahawa di dalam cinta itu harus ada empat unsur yang perlu dimiliki, yakni:

Pertama, Care (perhatian). Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Kalau kita mencintai diri sendiri, maka kita akan memperhatikan kesihatan dan kebersihan diri. Kalau kita mencintai orang lain, maka kita akan memperhatikan kesulitan yang dihadapi orang tersebut dan akan berusaha meringankan bebannya. Termasuk jika kita jatuh cinta dengan mencintai lawan jenis kita, maka segala bentuk perhatian akan kita tunjukkan pada si dia. Kita akan sering menulis namanya, menyebutkan namanya, mungkin diam-diam mengumpul segala fotonya untuk dijadikan koleksi. Apatahlagi dengan berkembangnya teknologi informasi yang membolehkan kita mengintip diarinya melalui celah-celah blog mailnya yang secara langsung akan memaparkan foto-fotonya. Dalam diam kita menjadi secret admirer-nya. Minimal itu. Kerana tujuan mulianya adalah mendapat perhatiannya sebagai seorang kekasih.

Kedua, Responsibility (tanggung jawab). Cinta harus melahirkan sikap bertanggungjawab terhadap objek yang dicintai. Orang tua yang mencintai anaknya, akan bertanggung jawab akan kesejahteraan material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami yang mencintai isterinya, akan bertanggungjawab akan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya. Seorang jejaka atau gadis yang saling jatuh cinta, ia akan berusaha untuk memposisikan bahawa mereka bertanggung jawab terhadap hubungannya. Menjaganya dan merawatnya agar tidak "terlanjur". Mereka yang memahami ajaran Islam, maka jatuh cinta itu bukan untuk melakukan perbuatan yang dibenci oleh Sang Pemilik Cinta, yakni Allah Swt. Ia akan menjaga pandangannya, perasaan, hatinya, dan juga aktivitinya agar tidak "terlanjur". Tapi, cinta bukan lagi tanggungjawab jika sepasang remaja yang dilanda cinta itu mengekspresikannya dengan cara yang membuat mereka dibenci Allah SWT, seperti seks bebas misalnya.

Ketiga, Respect (hormat). Cinta harus melahirkan sikap menerima apa adanya (qanaah) objek yang dicintai, kelebihannya kita syukuri, kekurangannya kita terima dan perbaiki. Tidak bersikap sesuka hati dan selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Inilah yang disebut respect. Itu sebabnya, sering kali kita mendengar cerita ada orang yang saling jatuh cinta itu meski berbeza etnik, berbeza bahasa, berbeza budaya, bahkan ada yang sampai cinta buta, yakni berbeza agama. Itu kerana, kita merasa bahawa cinta akan melahirkan sikap menerima apa adanya. Wah, jika tak ada filter (saringan) akidah, maka semuanya akan hancur. Tapi, ini kita bicara secara umumnya lho. Bahawa cinta akan melahirkan respect kepada objek yang kita cintai. Benar enggak?

Keempat, Knowledge (pengetahuan). Cinta harus melahirkan minat untuk memahami selok belok objek yang dicintai. Kalau kita mencintai seorang wanita atau lelaki untuk dijadikan isteri atau suami, maka kita harus berusaha memahami keperibadian, latar belakang keluarga, minat, dan ketaatan dalam agamanya. Bukan bermodalkan jatuh cinta je. Eh, kalau kita bicara secara umum pun, sebenarnya ketika kita jatuh cinta, kita akan mencari-cari segala informasi yang bau-bau bacang tentang si dia. Nah, tentu standard yang diinginkan dalam pencarian itu tergantung keperibadian orang yang bersangkutan. Ada yang merasa agama tak perlu menjadi pertimbangan, tapi ada pula yang merasa bahawa agama harus menjadi pertimbangan saat jatuh cinta. Kepada siapa kita harus mencintai. Begitu kan? But, intinya secara umum, cinta memang akan melahirkan rasa ingin tahu untuk menyelidiki si dia yang kita cintai, yang telah membuat kita jatuh hati dan jatuh cinta kepadanya. Setuju?

Tetap Iffah (menjaga kehormatan) ketika jatuh cinta

Menurut Hamka, “Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu sedan atau tragedi. Tetapi cinta menghidupkan penghargaan, menguatkan hati dalam perjuangan, menempuh onak dan duri penghidupan.”Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, ada persoalan besar yang harus diperhatikan oleh orang yang cerdas, iaitu bahawa puncak kesempurnaan, kenikmatan, kesenangan, dan kebahagiaan yang ada dalam hati dan roh tergantung pada dua perkara. Pertama, kerana kesempurnaan dan keindahan sesuatu yang dicintai, dalam hal ini hanya ada Allah, kerananya hanya Allah yang paling utama dicintai. Kedua, puncak kesempurnaan cinta itu sendiri, ertinya derajat cinta itu yang mencapai puncak kesempurnaan dan kesungguhan. (dalam kitab al-Jawabul Kafi Liman Saala’ Anid Dawaaisy-syafi, edisi terjemah. hlm. 255)

Lebih lanjut Ibnu Qayyim menjelaskan, “Semua orang yang berakal sihat harus menyedari bahawa kenikmatan dan kelazatan yang diperoleh dari sesuatu yang dicintai, bergantung kepada kekuatan dorongan cintanya. Jika dorongan cintanya sangat kuat, maka kenikmatan yang diperoleh ketika mendapatkan yang dicintainya tersebut lebih sempurna.”

Mungkin persis seperti kita ketika haus, di panah dengan teriknya siang matahari, maka kita akan semakin haus dan semakin ingin mencari air untuk memenuhi rasa haus kita. Nah, ketika mendapatkan air, maka nikmatnya benar-benar terasa. Tanya kenapa? (Hehe.. macam iklan plak :-D)

Sahabatku sekalian..., kita sering mendengar bahawa jatuh cinta dan akhirnya mencintai orang yang kita cintai adalah sebagai anugerah terindah. Mungkin ada benarnya juga. Meski menurut saya itu terlalu dramatik. Sebab, urusan cinta ini sangat kompleks wahai sahabatku. Tidak seperti ketika menghitung formula matematik yang serba pasti. Tapi yang jelas dan yang paling utama, cinta bagi kita sebagai Muslim, haruslah sesuai dari sisi syariat, dan bukan yang lain. Ku tegaskan sekali lagi, tidak dari yang lain! Melainkan islam semata!

Guys, setiap perbuatan yang kita lakukan itu pasti sesuai dengan cara pandang kita terhadap perbuatan tersebut. Lebih luas lagi cara pandang kita tentang kehidupan. Kalau kita memandang kehidupan itu hanya sekadar tumbuh, berkembang, lalu sampai titik tertentu mati (dan tidak ada kehidupan akhirat), maka perbuatan kita pun memancarkan tentang apa yang kita fahami tentang kehidupan tersebut. Kita boleh dan bebas berbuat apa sahaja sesuai keinginan kita, kerana kita merasa bahawa kehidupan cuma di dunia. Kehidupan setelah dunia kita anggap tidak ada. ertinya, kita jadi tidak kenal istilah pahala dan dosa.

Sebaliknya, bagi kita yang meyakini bahawa kita berasal dari Allah SWT, yang menciptakan kita semua dan segenap lapisan alam semesta, maka hidup di dunia juga adalah untuk beribadah kepada-Nya, dan setelah kematian kita akan hidup di alam akhirat sesuai dengan amalan yang kita lakukan di dunia. Kalau banyak amal baik yang kita lakukan, insyaAllah balasannya pahala dan di tempatkan di syurga. Sebaliknya, kalau lebih banyak atau selama hidup kita berbuat maksiat dan tidak sempat bertaubat, jelas dosa dan kita akan ditempatkan di akhirat nanti di tempat yang buruk, yakni neraka. Naudzubillahi min dzalik.

Nah, dengan sudut pandang terhadap kehidupan yang benar, maka ketika berbuat apa pun, kita akan menyesuaikan dengan cara pandang kita tentang kehidupan yang benar itu. Termasuk ketika kita jatuh cinta. Jangan mentang-mentang jatuh cinta, lalu mengekspresikan cinta seenak hawa nafsu kita. Tidak boleh gitu dong guys... Bukan asal cantik dan seksi, maka kita main langgar je. Oh, jangan begitu dong guys. Tapi intinya sih, kita bakalan berfikir bagaimana seharusnya menurut aturan Islam. Bukan berfikir sebagaimana adanya kehidupan yang saat ini dilakoni dan dipertontonkan di media massa dan kehidupan nyata kini yang penuh dengan kebinasaan alias sekuler. Tolong dicatat yah!

Ini penting dan perlu. Sebab, kalau yang berfikirnya “sebagaimana adanya kehidupan”, ya kita akan berfikir tentang hak-hak kebebasan. Misalnya ketika manusia itu dianggap berhak melakukan apa saja dalam kehidupan yang ada sekarang, yakni Kapitalisme-Sekularisme, maka tentu akan berbuat apa saja sesukanya (berzina, minum khamr, dadah, judi, couple dsb). Kerana merasa mereka berhak melakukan hal tersebut. Tidak terikat dengan aturan yang benar. Bahaya besar, Bro!

Sementara yang berfikirnya “sebagaimana seharusnya”, maka ia akan melaraskan akal dan perbuatannya dengan aturan yang benar. Kerana menganggap kehidupan yang ada ini harus sesuai aturan yang benar, gitu lho. Dan Islamlah yang benar. Bukan yang lain.

Itu sebabnya, ketika jatuh cinta pun kita harus tetap iffah alias menjaga kehormatan dan kesucian diri. Ibnu Abbas berkata bahawa orang yang jatuh cinta tidak akan masuk syurga kecuali ia bersabar dan bersikap iffah kerana Allah dan menyimpan cintanya kerana Allah. Dan, ini tidak akan terjadi melainkan apabila ia mampu menahan perasaannya kepada ma’syuq-nya (orang yang dicintainya), mengutamakan cinta kepada Allah, takut kepadaNya, dan redha denganNya. Orang seperti ini yang paling berhak mendapat derajat yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam al-Quran:

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (QS an-Naazi’aat [79]: 40-41)

Kita boleh dan wajar untuk jatuh cinta. Tapi, tetap harus menjaga kehormatan dan kesucian diri. Yakni dengan cara tetap menjadikan Allah dan RasulNya sebagai pemandu hidup kita. Kita melakukan perbuatan atas dasar petunjuk dari Allah melalui al-Quran dan petunjuk dari Rasulullah saw. berupa as-Sunnah. Inilah pedoman hidup kita. Okey?

... Aku Seorang Pecinta... wink

Read More..

Rabu, 26 Mac 2008

Non Muslim Join Parti Islam?

Soalan: Dalam keghairahan beberapa Parti berasaskan Islam dunia hari ini melibatkan diri dalam pilihan raya untuk mendapat tempat dalam pemerintahan, mereka mula mencanangkan keahlian kepada non-Muslim. Soalan saya ialah apakah pendapat Hizbu Tahrir berkenaan dengan keanggotaan mereka ini dalam parti Islam dan saya memandang seperti ada benda yang tidak kena?

Jawapan: Tidak dibenarkan secara syarei bagi sebuah parti Islam menerima keanggotaan non-muslim. Ia berdasarkan kepada firman Allah SWT :

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنْكَرِ


"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (Islam), mengajak kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar." [TMQ Ali 'Imran (3) : 104].

Berkaitan dengan ayat di atas, Syaikh Abdul Hamid Al-Ja'bah dalam kitabnya Al-Ahzab fi Al-Islam berkata :

فكلمة " منكم " في الآية تمنع أن تكون الجماعة أو الحزب من غير المسلمين و تحصر ذلك في المسلمين فقط


"Maka kata "minkum" (di antara kamu) dalam ayat di atas mencegah sebuah kelompok atau parti dari (menerima keanggotaan) orang-orang non-Muslim, dan membatasi keanggotaannya kepada orang-orang Muslim sahaja." [Syeikh Abdul Hamid Al-Ja'bah, Al-Ahzab fi Al-Islam, hal. 120].


Syeikh Ziyad Ghazzal menyatakan pendapat yang sama dalam kitabnya Masyru' Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah (RUU Parti politik dalam Negara Khilafah) di dalam fasal berkenaan keanggotaan parti politik (syuruth al-'udhwiyah fi al-ahzab as-siyasiyah) hal. 46 :

أن يكون مسلما لان الحزب السياسي يستهدف العمل السياسي عامة دون تخصيص فهو يقوم بانتقاد الأحكام الشرعية التي تبناها الخليفة وأعوانه بالمعروف وينهاهم عن المنكر ويقوم اعوجاجهم إذا انحرفوا عن الشرع ويشهر السلاح في وجه الخليفة إذا ظهر الكفر البواح وغيرها من الأعمال السياسية فهو يستهدف العمل السياسي عامة وهذا يحتم أن يكون الأعضاء من المسلمين لان طبيعة الأحزاب السياسية واعمالها فرضت ذلك


"[Anggota parti Islam] hendaknya seorang Muslim, kerana parti politik [Islam] bertujuan untuk melakukan aktiviti politik secara umum, tanpa pengkhususan. Tugas parti politik Islam adalah bertujuan untuk mengkritik terhadap hukum-hukum syarak yang diadopsi oleh khalifah dan para pembantunya, melakukan amar ma'ruf nahi mungkar terhadap mereka, meluruskan penyimpangan mereka jika mereka menyimpang dari syarak, dan mengangkat senjata di hadapan khalifah jika khalifah menampakkan kekufuran yang nyata, serta aktiviti-aktiviti politik lainnya. Jadi, parti politik (Islam) bertujuan melakukan aktiviti politik secara umum. Ianya mengharuskan angggota-anggotanya mesti dari kalangan kaum muslimin, kerana karakter parti-parti politik (Islam) dan aktivitinya telah mewajibkan hal itu (keislaman anggotanya)." [Syaikh Ziyad Ghazzal, Masyru' Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah, Dar Al-Wadhah li An-Nasyr, 2003, hal. 46].


Oleh yang demikian, menurut Syaikh Ziyad Ghazzal, keislaman anggota parti politik Islam adalah suatu kewajiban, kerana merupakan tuntutan yang muncul dari karakter dan aktiviti parti politik Islam. Sebagai contoh, aktiviti parti politik Islam adalah melakukan amar ma'ruf nahi mungkar. Dan ayat al-quran telah memastikan, bahawa amar ma'ruf nahi mungkar ini adalah karakter khas umat Islam, bukanlah non-Islam. Firman Allah SWT :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَر وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ ِ

"Kamu (umat Islam) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." [QS Al-Imran (3) : 110]


Banyak ayat lain yang menerangkan, bahawa amar ma'ruf nahi mungkar adalah ciri khas umat Islam, dan bukan bagi non Islam. Misalnya Surah Ali 'Imran : 114, Surah A-A'raaf : 157, Surah At-Taubah : 71, dan Surah At-Taubah : 12. Sebaliknya, orang non Islam, khususnya Yahudi, tidak saling melarang berbuat mungkar (Surah Al-Ma`idah : 78-79), dan orang munafik bahkan menyuruh yang mungkar dan mencegah dari yang ma'ruf (Surah At-Taubah : 67). Jadi tugas amar ma'ruf dan nahi mungkar tidaklah akan mampu dipikul, kecuali oleh umat Islam.


Dengan demikian jelaslah, bahawa secara syarei haram hukumnya bagi sebuah parti politik Islam menerima keanggotaan dari non muslim. Wallahu a'lam

Read More..