Siapakah teman? Mereka yang mengenal diri saya, baik secara langsung mahupun secara tidak langsung. Baik yang pernah bertatap muka, atau hanya sekadar berkomunikasi di dunia maya. Ada yang tersengih di ruang sudut sana, mengenali diri ini, namun saya belum mengenal pasti siapakah dia, mungkin dia juga adalah teman saya. Dengarkanlah pesan ikhlas dari temanmu ini.
Dedikasi Untuk Teman
Dunia ibarat roda,
berputar pada paksinya,
sisi mana pun ia berubah,
ia tidak terlepas dalam hisabNya.
Sejumlah masalah engkau taburkan,
pilihan mengeluh ataukah redha,
kerana yang pasti bukan sekadar pasrah,
namun ikhtiyar dan usaha untuk berubah,
Teman Yang Sedang Imtihan
Petang ini, saya mendapat khabar gembira. Teman akrab saya memberitahu bahawa dia telah mendapat keputusan “A” dalam peperiksaannya (bidang medic). Lebih dari itu, dia merupakan penerima “A” tunggal dari sejumlah mahasiswa lainnya. Tahniah teman. Ada yang membuat saya lebih bangga akan dirinya. Teman saya bukan saja bagus dalam pelajarannya, malah dia aktif dalam berdakwah dan menyampaikan dengan lisannya tentang kebenaran di tengah-tengah masyarakat. Berjumpa dengan patient-nya (pesakitnya), tidak lepas dengan dakwah. Berinteraksi dengan room-matenya, dia juga akan menyelitkan perbincangan umat. Di tengah-tengah komuniti kampusnya juga, dia berusaha untuk menghidupkan nuansa dakwah menuju takwa orang-orang beriman.
Bagi teman-teman yang lain, yang akan menempuh peperiksaan sama ada esok, lusa, minggu depan atau bulan hadapan... ketahuilah, bahawasanya peperiksaan tersebut bukanlah matlamat (vital issue) terbesar bagi kita sebagai hamba Allah SWT di muka bumi ini. Nasehatku, belajarlah dengan tekun dan bersungguh-sungguh agar dapat menjawab segala soalan-soalan.
Namun, ada hal lain yang perlu kalian sedari, selain peperiksaan yang kalian sedang tempuh itu. Apakah tidak terlintas di hati dan dada-dada kalian tentang tugas yang belum pernah selesai sejak kalian menjadi manusia yang berakal?
Teman Yang Sedang Bekerja
Saya pernah bekerja mulai dari jam 6 pagi. Bangun pagi seawal 5 pagi, solat subuh, lalu bingkas menerjah kabus pagi menuju Ibu Kota. Selesai kerja, sekitar jam 12 tengah hari. Setelah itu, sambung masuk kerja sebagai banquet di Hotel 5 Bintang. Semuanya adalah semata-mata untuk mencari nafkah yang halal. Penat, letih, capek... semua kalimat tersebut belum dapat menggambarkan situasi saya pada saat itu. Badan yang lemah, fikiran yang selalu tidak fokus, kerana waktu yang hanya dipenuhi dengan tuntutan materi. Memori itu, belum pernah pudar, kerana ia baru berlaku 6 tahun lalu setelah selesai menduduki peperiksaan SPM.
Bagimu teman, yang sedang melalui hal yang sama saat ini. Janganlah sedih, gusar dan punah hati. Apatah lagi berasa kecewa dengan apa yang kalian hadapi. Di sisi lain, janganlah kalian fikir, bahawa kerja dan pangkat yang kita miliki di dunia ini adalah kekal, kerana ia hanyalah bersifat sementara. Saya jadi teringat lirik nasyid yang pernah bersenandung dalam diari hidup saya satu ketika dulu, tanpa saya ketahui siapakah penyanyinya;
Hidup di dunia
Banyak pancaroba
Mujahadah kerana-Nya ....
Lagu ini benar! Hidup di dunia memang banyak pancaroba. Sana sini, masalah. Dalam sepuluh perkara, mungkin hanya satu perkara suka, dan selebihnya adalah duka. Kalaupun ada 9 perkara suka, dan yang satunya duka, mungkin hanya untuk segelintir manusia. Kadang-kadang, jarang-jarang.
Wahai teman yang sedang struggle bekerja, apakah kalian pernah berfikir, apakah mujahadah terbesar sebagai hamba Allah di muka bumi ini?
Teman Yang Sedang Dalam ‘PeNCaRiaN’
Satu hari, setelah selesai solat, saya membuat para pelajar saya merasa kaget sebentar, dek kerana gaya tazkirah yang agak berbeza dari saya dengan para ustaz yang lain. Membuat manusia berfikir, itu adalah salah satu gaya dan karakter saya.
“Aiyuhas Syabab, Anak-anak dan adik-adikku sekalian. Bayangkanlah, suatu ketika kalian daripada rumah menuju ke sebuah hotel yang sangat mewah berstatus 10 Bintang (ada ke?). Kalian mempunyai objektif dan cita-cita yang hendak diraih apabila menjejakkan kaki ke dalam hotel. Mungkin saja, kalian ingin menikmati percutian yang mewah dengan pelbagai kemudahan yang ada di dalam hotel tersebut. Kolam renang yang asyik untuk kita renangi. Makanan dan minuman mewah khas untuk orang kaya sejati (haha). Terserah kalian mahu apa untuk ke sana.”
“Tapi... tatkala kalian melangkah masuk ke dalam hotel...jeng, jeng, jeng... Keadaan hening. Gelap dan malap. Lampu di dalam hotel tidak berfungsi. Entah kenapa (walau tak logik, buat-buat logik). Bayangkan ketika kalian berjalan di dalamnya, apakah mudah untuk mencapai segala benda yang diingini, cita-cita yang hendak diraih semuanya tadi? Tap! kaki tersandung. Aduh! kepala terhantuk. Hah! Langkah kita dihentikan seketika. Mengapa sedemikian sukar untuk menunaikan hajat dan cita-cita yang diimpikan?”
Apakah cita-cita seorang yang beriman? Tentu saja untuk meraih jannah yang kekal abadi. Dan apa yang pasti, jannah tidak dapat diraih, tatkala kita tidak dapat melihat jalan untuk menempuhnya. Kita berasa gelap melihat liku-liku kebenaran. Kita menjustifikasikan segala kebenaran dengan alasan konyol yang tidak berandal. Kalian beralasan sukar apabila disahut. Kalian beralasan lambat dan retorik, padahal jalan itulah yang ditempuh para nabi. Segala macam alasan yang kalian utarakan tersebut bukanlah bukti kesungguhan kalian untuk mencari kebenaran sebenarnya, melainkan hanyalah bukti kalian untuk menjauh dari hakikat kebenaran sejati.
Pesanan Terakhirku
Allah SWT menciptakan alam semesta berserta segala isinya dengan rahmat dan kasihnya. Allah SWT juga ‘bertitah’ di dalam al-quran dengan kalam sucinya dengan aturan lengkap sebagai manual bagi sekalian hambanya. Namun, kenapakah masih banyak manusia yang memilih manual selain manual dari Sang Pencipta? Ketika syaitan bersenandung dengan bisikannya, tidak ketinggalan para pengemban dakwah yang ikhlas menuangkan citra kasih dan sayangnya melalui dakwahnya. Tinggal kalian saja yang memilih, sama ada memilih bisikan syaitan ataukah menerima risalah suci kalam ilahi? memilih sesat dalam gelap gelita atau berpedoman dengan Al-quran dan sunah?
Wahai teman yang sedang dalam imtihan, sedang bekerja dan... yang sedang dalam ‘pencarian’, mulakanlah dengan mempersoalkan iman kalian. Berfikir dan merenung tentang kejadian alam, adalah kunci kepada keimanan yang benar (yang rasional). Apakah mungkin Tuhan Sang Perkasa, menciptakan manusia dengan sia-sia tanpa adanya pedoman? Tentu saja tidak! Oleh sebab itu, kita punya rasul sebagai ikutan dan panutan dalam segala hal.
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab[33]: 36)
Wallahu’alam...
Jumaat, 20 Februari 2009
Pesan Untuk Teman
Labels: Umum
Posted by thinker at 1:33 PG 0 comments
Khamis, 19 Februari 2009
Seperti Makan Nasi
Beberapa bulan lalu, saya ke Bandung menziarahi teman baik saya. Selama seminggu saya di sana. Perasaan berada di sana memang sangat teruja dan gembira. Apa tidaknya, di samping dapat berjumpa dengan teman lama, saya juga dapat merasai suasana kehidupan di negeri orang. Ia memang luar biasa. Iklim yang sejuk, kultur budaya dan sosialnya yang berbeza daripada tanah air Malaysia sungguh sangat memberi inspirasi.
Oleh kerana teman saya agak kesibukan dengan acara pernikahan adiknya. Jadi, teman saya memperkenalkan saya dengan seorang teman akrabnya yang tahu seluk belok kota Bandung. Dengan harapan, agar kehadiran saya di situ, tidaklah sia-sia dan terabai. Wahai teman, kalaupun engkau tidak melakukan hal itu, aku maklum akan kondisi kalian.
Ada suatu perkara yang menarik untuk dikongsikan. Tanpa menokok tambah, saya Cuma berharap perkongsian ini, dapat memberi sedikit cetusan pemikiran bagi mereka yang seenaknya dalam melakukan perkara-perkara yang diperintahkan oleh Allah SWT. Teman kepada teman saya ini (istilah yang pelik lagi), membuat saya kagum dengan dialognya yang benar-benar rasional dan menggugah akal.
Pagi itu, kami bangun agak telat, tetapi masih sempat untuk melaksanakan kewajipan solat. Kami keletihan, kerana hari sebelumnya kami berjalan (bersiar-siar) sehari suntuk. Dalam pada itu, Abdul (nama teman kepada teman saya) sempat berkomentar singkat tatkala kami ngobrol sambil menonton televisyen (program rancangan di sana, sangat beragam). Komentarnya begini, “Solat ni, dah menjadi satu perkara yang wajib, seperti mana wajibnya manusia itu untuk makan. Saatnya makan, tentu manusia itu perlu makan. Begitu juga dengan solat, ia sudah seperti rutinnya manusia untuk makan. Tidak perlu disuruh, apalagi dipaksa untuk melakukannya. Kalau tidak makan, manusia yang akan rugi dan memudaratkan dirinya sendiri. Hmm... benar juga ya! Kalau tidak solat, bukan sahaja tidak tenang (kerana kita tahu akan kewajipan tersebut), bahkan di akhirat kelak kita bakal diazab di dalam api neraka. Nau’dzubillah Min Dzalik.
Walaupun kiasan tersebut agak mirip sama, namun ia hanya sama dari sudut praktikal dan aplikasinya dalam kehidupan kita. Namun, tidak pada dasarnya. Ini kerana, manusia memang perlu makan untuk meneruskan kehidupan (survival). Tetapi, manusia masih boleh meneruskan kehidupan tanpa perlu solat. Orang yang berideologi kapitalis juga solat, tapi mungkin mengambil agama Hindu dan Budha sebagai pilihan. Sam Harris (pengarang buku The End Of Faith) di dalam bukunya mengecam agama, kerana baginya agama hanya memecahbelahkan manusia. Manusia bersengketa hanya atas nama kebenaran yang diyakininya. Namun, Sam Harris tetap masih boleh hidup tanpa adanya keyakinan pada sesuatu agama, dan begitu juga dengan para penganut ateisme yang lain.
Bagi seorang muslim yang beriman, tentu saja di tahu bahawa dia solat adalah semata-mata hendak meraih manfaat spiritual (qimah ruhiyah), dan bukan manfaat kebendaan (qimah madaniyah). Orang yang beriman melaksanakan solat adalah kerana dia atas dasar kesedaran akidah yang diyakininya. Lalu, dengan keyakinan tersebut, akan melahirkan satu persepsi yang menyeluruh termasuklah tentang keyakinannya terhadap salah satu kewajipan terbesar sebagai seorang muslim iaitu bersolat. Tidak dinafikan, apabila kewajipan itu terlaksana secara berterusan (dalam waktu yang agak lama), maka ia akan menghasilkan satu perkara rutin, yang mana kita akan merasa tidak selesa jika tidak melaksanakannya. Ia berlaku pada saya. Ketika saya melaksanakan segala apa jua amalan dan aktiviti, hati saya berasa tidak tenang jika solat masih belum dilaksanakan. Hatta, jika kita lupa untuk melakukannya, kita akan secara automatik ingat kerana ia sudah menjadi satu aktiviti yang kita lakukan secara istiqamah.
Ada satu kisah mengenai seorang sahabat lain yang sangat peka terhadap setiap seruan Allah. Saat itu dikisahkan seorang sahabat hendak memakan sebiji kurma, lalu tiba-tiba datanglah seruan untuk berperang. Apa yang dilakukan sahabat tersebut? Dia membuang kurma yang hendak dimakannya tadi dan segera pergi ke medan jihad. Sahabat tersebut berkata, “Terlalu lama jika aku harus menunggu kurma ini habis lalu pergi berjihad.”
Apakah kalian rela makan nasi, tapi dalam waktu yang sama meninggalkan kewajipan solat dan kewajipan lain yang telah Allah SWT taklifkan?
atau,
Apakah kalian tidak rela perut kalian lapar, tapi di sisi lain rela meninggalkan larangan yang telah Allah SWT tetapkan!
Fikirkan! Adakah kalian merasakan nasi lebih penting daripada kewajipan lainnya?
Wallahu’alam...
Labels: Umum
Posted by thinker at 1:00 PTG 2 comments
Ahad, 15 Februari 2009
Selamat Tinggal Valen
Ketika penulis sedang menulis artikel ini, hari agung bagi para kekasih dan para pencinta picisan telah ditinggalkan. Tulisan ini adalah sambungan dari tulisan sebelum ini (Roman Picisan Bulan Februari). Dari pengamatan dan perenungan dalam beberapa hari ini, nampaknya masih banyak yang terkena bius cinta yang datang dari barat ini. Cinta yang disodorkan oleh barat, sangat laris ‘dibeli’ oleh umat manusia, termasuklah umat islam, khususnya para remaja yang tidak tahu akan keharaman menyambut perayaan ini. Dari hari ke hari, para pemuja cinta yang lebih famous dengan istilah couple ini, terus terjebak dengan manisnya kata-kata, tenggelam dengan aliran sastera karya agung yang berbasis cinta.
Sedikit perkongsian, seorang teman kepada teman saya (wow, macam berbelit je), telah menyalin satu ungkapan bahasa yang ada di dalam majalah sekolahnya untuk diberikan kepada teman lelakinya (boyfriend). Jika kalian membacanya, tentu akan meremang seketika. Isinya begini:
“Kalau bulan lesu di malammu mentari akan redup di siangku kalau bunga layu di tangkaiku daun akan kuncup di rantingmu kalau pulaumu merapat ke daratanku hulumu akan mendekat ke muaraku Kalau kau angin luka akulah bukit pasir tempat kau membaringkan lara kalau aku ombak gundah kaulah beting pasir tempat aku menggulingkan gulana kalau tiba musim gelora di manakah pula angin dan ombak hendak bermanja? Jika ada sebuah taman biarlah aku menjadi bangku dan kaulah itu serumpun bambu tumbuh rendang meneduhiku kalau ada sebuah tasik kaulah perahu kecil berlabuh tenang di tambatanku apakala tiba waktu senja lembayung indah itu kita yang mewarnakannya.”
Terserah kalian mahu berkata apa. Tapi itulah hakikatnya. Para pelajar di sekolah pun disajikan dengan kata-kata puitis sebegini yang langsung tidak membina pemikiran dan akhlak sebagai seorang muslim. Lebih teruk dari itu, pelajar itu telah menukilkan satu tulisan yang lebih roman dari itu:
“Lemparkan seorang yang bahagia dalam bercinta ke dalam laut, pasti ia akan membawa seekor ikan. Lemparkan pula seorang yang gagal dalam bercinta ke dalam gudang roti, pasti ia akan mati kelaparan.”
Aduh, jadi pening memikirkannya.
Bukalah Mata Anda!
Seperti yang saya bicarakan sebelum ini, bahawa saya tidak berniat untuk membahaskan Hari Kekasih ini dalam perbincangan fiqih, kerana umum mengetahui tentang keharamannya. Tetapi saya ingin membawa para pembaca agar melihat suatu peristiwa yang berlaku, dalam skop pemikiran ideologi islam. Iaitu dengan memandang setiap permasalahan dengan sudut kenapa dan mengapa masalah itu berlaku, serta apa yang sepatutnya yang dilakukan oleh umat islam apabila ditimpa permasalahan yang segudang banyaknya di kancah kehidupan.
Secara kasarnya, masyarakat dunia khususnya di Malaysia, hanya terfokus dengan isu-isu yang dipropagandakan di media masa dan publik semata. Mereka tidak memandang, membuka mata dengan lebih luas ketika melihat permasalahan yang berlaku di seluruh dunia, khususnya yang berkaitan tentang umat islam. Saya beri contoh yang mudah; umat islam akan terfokus dengan isu murtad satu ketika dulu, manakala isu Palestin terlupakan. Kini, isu Palestin memuncak kembali, dan isu murtad kembali surut dari perbincangan dan agenda semasa. Begitulah seterusnya, apabila suatu isu naik, isu lain pula turun. Satu itu panas, isu yang lain pula sejuk.
Guys, sesungguhnya umat yang pernah menjadi umat yang digeruni oleh segenap pelosok dunia, baik kawan mahupun lawan, kini menjadi sejarah yang hanya bersifat dongeng. Sejarah yang mengagumkan tersebut hanya dibaca, tanpa difikirkan kembali mengapa pada saat ini, umat terbaik tersebut menjadi umat yang terbelakang. Bukan itu sahaja, mereka tidak pernah berfikir bagaimana caranya untuk mengembalikan semula kegemilangan tersebut. Allah SWT berfirman:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Imran[3]: 110)
Percayalah, bahawa janji Allah SWT pasti terjadi. Tapi harus diusahakan, bukan dibiarkan. Sepertinya halnya jodoh, kita bukan hanya berdiam diri, lalu sang bidadari muncul di kala sepi. Begitu juga dengan ketentuan yang akan berlaku ke atas kaum muslimin yang berupa kemuliaan dan rahmat ke atas mereka, sesudah mereka menjadi umat yang terbaik. Perlu adanya satu kelompok yang ikhlas untuk mengemban dakwah islam, agar islam diterapkan secara keseluruhan (kaffah) di dalam kehidupan.
"(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, iaitu memeluk Islam), memerintahkan kepada yang makruf dan mencegah kemungkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS Ali-Imran[3]: 104)
Mengubah semua apa yang disebutkan tadi haruslah dimulai oleh satu kelompok yang sedar (parti politik) akan tanggungjawab untuk mengemban dakwah di dalam masyarakat. Maka dalam hal ini, kelompok dakwah yang menyeru masyarakat ini haruslah mempunyai ciri-ciri khas agar mereka tidak hanyut oleh mainan politik yang ada, yang justeru akan mengakibatkan kelompok tersebut hilang ruhnya sebagai pembangkit umat. Ciri-ciri khas tersebut adalah:
Pertama, kelompok islam itu harus mempunyai fikrah (thought) islam untuk membangkitkan umat. Fikrah ini tidak boleh tercemari oleh fikrah-fikrah lain selain islam yang akan menghilangkan kemurniaan fikrah islam itu sendiri. Fikrah-fikrah yang sesat dan dilarang di dalam islam seperti sekularisme, pluralisme, demokrasi, HAM, separatisme dan lainnya haruslah ditangkis dan dijauhkan dari kelompok pembangkit (hizb an-nahdhah).
Kedua, mempunyai thariqah (metode) perjuangan yang jelas untuk membangkitkan umat dan mengharungi liku-liku perjuangan. Fikrah dan thariqah ini haruslah menyatu dan digenggam erat oleh kelompok islam tersebut tanpa adanya kompromi, walaupun secara lumrahnya bahawa parti islam akan dihadapkan oleh berbagai-bagai macam tawaran yang menggiurkan dan mengghairahkan. Dalam hal ini, kita haruslah melihat contoh agung sepanjang zaman iaitu Rasulullah saw. Beliau menolak tawaran kompromi kafir quraisy dengan sabdanya yang tegas, “Wahai paman, demi Allah, seandainya matahari diletakkan di tangan kanan-ku dan rembulan di tangan kiri-ku agar aku meninggalkan urusan (dakwah) ini. Aku tidak akan meninggalkannya hingga agama ini tegak atau aku mati kerana-Nya (membelaNya).
Ketiga, kelompok islam tersebut harus diemban (diperjuangkan) oleh orang-orang yang benar-benar sedar akan tanggungjawab (berdakwah) ini serta mereka haruslah mengenal fikrah dan thariqah perjuangan kelompok islam tersebut.
Keempat, anggota-anggota yang ada di dalam kelompok islam haruslah terikat oleh ikatan yang kuat dan benar sehingga mereka tidak mudah goyah dan berpecah. Ikatan yang kuat di antara anggota-anggota para pengemban dakwah inilah yang akan memperkuatkan lagi perjuangan di dalam kutlah (kelompok) tersebut.
(Taqiyuddin An-Nabahani – At-Takatul Hizbi)
Menuju Kebangkitan Yang Hakiki
Oleh itu, saya menyeru kepada seluruh kaum muslimin, agar melihat segala permasalahan yang berlaku di seluruh dunia ini dengan perspektif ideologi islam, dan bukan emosi belaka. Janganlah kita menjadi lalang yang mudah goyah, atau menjadi buih di atas lautan, yang jumlahnya banyak tetapi langsung tidak menggetarkan musuh-musuhnya. Sesungguhnya umat yang terbaik yang dijanjikan oleh Allah SWT ini pasti akan wujud kembali, setelah kita menolong agamaNya dengan mengemban dakwah di tengah-tengah umat, dan bukan menjadi orang yang hanya ‘look and see’, tanpa adanya kontribusi bersama.
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad[47]: 7)
Wallahu’alam…
Labels: Fikrah, Perihal Pria Dan Wanita
Posted by thinker at 1:02 PTG 2 comments
Sabtu, 14 Februari 2009
Mengukur Keberanian “Mahasiswa” untuk Melakukan Perubahan!!
Perubahan adalah sesuatu yang lumrah. Tidak mungkin wujud suatu keadaan yang berjalan secara statik (tetap) di dunia ini, malah yang dikatakan tetap itu sebenarnya adalah gejala perubahan itu sendiri. Falsafah Yunani kuno mengungkapkan, semua makhluk sentiasa berterusan berubah, tercipta dan lenyap. Namun kadangkala seseorang berpandangan bahawa perubahan sebagai sesuatu yang harus dihindari. Mengapa? Mitos mengatakan bahawa perubahan merupakan penyimpangan daripada sistem dan kebiasaan. Mitos juga menjelaskan bahawa kejadian destruktif (kerosakan) kadangkala berlaku kerana perubahan (R.H. Lauer: 1993), sehingga perubahan dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Padahal perubahan tidak selalu diidentitikan dengan tindakan destruktif.
Perspektif Revolusi (Perubahan pengaturan Politik, Ekonomi dan Sosial secara menyeluruh dan mendasar)
Mentaliti yang penting yang harus dimiliki oleh mahasiswa adalah Sense of Crisis, iaitu mentaliti yang sentiasa melihat dan mengambil tahu keadaan masyarakat (kampus dan masyarakat luar) dan norma yang telah rosak. Terang lagi bersuluh bahawa kemaksiatan sangat bermaharajarela dalam kehidupan masyarakat hari ini begitu juga dalam sistem kehidupan sosial dan bernegara. Agama seringkali dianggap sebagai penghias hidup sahaja, sehingga lahirlah cara hidup yang sekular (jauh dari nilai Islam). Secara ringkasnya, timbulnya seribu satu permasalahan kerana pengaturan kehidupan berekonomi yang kapitalis, perilaku berpolitik yang oportunis, budaya hidup yang hedonis, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, nilai-nilai agama yang sinkreteis dan sistem pendidikan yang materialistik.
Dalam pengaturan kehidupan berekonomi yang kapitalis, roda ekonomi digerakkan sekadar untuk meraih keuntungan tanpa menimbang adakah ianya sesuai dengan syariat Islam atau tidak. Syariat Islam yang sebenar tidak diendahkan kerana dianggap sebagai pembantut ekonomi. Sementara itu, politik yang oportunis, ialah aktiviti politik yang tidak berorientasikan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, melainkan sekadar meraih kuasa dan kepentingan “sempit” lainnya. Manakala, budaya hedonisme, merupakan budaya yang dikembangkan sebagai ekspresi pemuas nafsu dan untuk kelihatan bermegah-megah dan sama sekali tidak didasarkan syariat Islam. Dalam hal ini Barat telah menjadi kiblat “kemajuan budaya” sebagai sesuatu yang harus dicontohi oleh bangsa lain.
Sementara itu sikap beragama yang sinkreteis telah meracuni sebahagian umat Islam sehingga terjerumus dengan pandangan yang memandang rendah, tidak menyukai, malah memusuhi syariat agamanya sendiri. Sebagian umat Islam telah lupa seruan Allah swt bahawa hanya Islam sahaja agama (cara hidup) yang diredhai-Nya. Akhir sekali, sistem pendidikan yang berwahana materialistik terbukti tidak mampu membentuk manusia yang berakhlak soleh yang sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan ini lengkaplah kerosakan yang dihadapi oleh umat.
Dalam arus perubahan dunia yang semakin global dan tenggelamannya nilai-nilai kemanusiaan, maka pelbagai usaha diperlukan untuk mengubah aturan peradaban kepada yang lebih baik iaitu dengan mengembalikan setiap sistem kehidupan hanya kepada Islam, diatur dan ditata oleh Islam sahaja!
Revolusi Pemikiran: Keberanian Berfikir Secara Mendasar
Mahasiswa dipandang sebagai pemuda elit yang mempunyai keberanian untuk bersikap tegas. Asas pemikiran Barat yang tidak dibimbing dengan nilai-nilai ruhiyah, merupakan bentuk pemikiran yang tidak patut dipraktiskan oleh mahasiswa muslim. Kebangkitan pemikiran yang benar dan membawa kesejahteraan, adalah konsep berfikir yang dibimbing oleh Zat yang menciptakan manusia, yang Maha tahu segala sesuatu yang baik dan sesuai dengan fitrah manusia di dalam kehidupan ini.
Jika tidak, pelbagai gelaran yang gah yang mengangkat martabat mahasiswa hanya merupakan ukuran over estimate terhadap posisi dan peranan mahasiswa. Mahasiswa dikatakan sebagai Agen perubahan (Agent of Change); salah satu elemen yang mengendalikan urusan masyarakat (Social Control); himpunan kekuatan moral (Moral Force); kuasa perubahan politik (political force) dan lain-lain. Tetapi ironisnya, kenapa sampai sekarang pergerakan mahasiswa ternyata mandul dalam melakukan revolusi dalam menuju revolusi yang sebenarnya?!
Jadi, terlebih dahulu mahasiswa harus melakukan revolusi pemikiran. Yang diharapkan daripada revolusi pemikiran ini adalah perubahan mendasar cara berfikir yang menuju ke arah kebangkitan yang sebenar iaitu kebangkitan Islam, bukan mengarah kepada memper-tahankan kondisi yang sedia rosak dengan sekadar menampal-nampal kerosakan tersebut dan dibalut dengan wallpaper yang indah untuk menutup kecacatannya. Oleh kerana itu, keberanian kita untuk berfikir lebih mendasar (bukan atas keegoan, kepentingan dan asas kemanfaatan belaka) akan memberikan pandangan yang kritis dan fundamantel bahawa kita harus melakukan perubahan yang bukan hanya untuk memperbaiki kehidupan saat ini saja, tetapi untuk membentuk sistem kehidupan yang kukuh dan sejahtera bagi umat manusia secara keseluruhannya.
Refleksi dari terwujudnya keadaan dan sistem hidup yang sejahtera bagi umat manusia dalam segenap aspek kehidupan adalah dengan tertegaknya syariat Islam secara menyeluruh dari sekecil-kecil perkara hingga membantasi sempadan negara. Perjuangan yang sama dirintis oleh Rasullullah dan gerakan para sahabat yang rata-rata berusia muda. Mudah-mudahan mahasiswa sedar dan berani melakukannya
Labels: Fikrah
Posted by thinker at 1:47 PTG 0 comments
Khamis, 12 Februari 2009
‘Pening’ Seorang Sahabat
Seperti kebiasaannya, hari ini saya ditemani oleh seorang sahabat berbincang-bincang (secara online), diskusi, ‘debat’, dan berkongsi segala hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman harian dan dakwah (sahabat saya tu pun, tengah membaca artikel ni sekarang, haha). Ada hal yang memprihatinkan dia, sehingga perlu diluahkan kepada saya berkenaannya. Hari ini (11/2/2009), dia mendapatkan pengalaman yang ‘membengangkan’ dan sekali gus mempengaruhi emosinya (dia demam hari ni). Semuanya berkisar tentang pengalamannya semasa bertugas di hospital. Apa yang berlaku, memang di luar dugaan (tidak pada saya, haha). 2 orang adik-beradik berzina (patient-nya), dengan alasan yang tidak masuk akal. Ayah mereka yang mengajar katanya, untuk menunjukkan kasih sayang (bangsat betul si ayah ni!). Si Ibu tidak dapat menerima kenyataan, dan akhirnya masuk rumah sakit jiwa. Si bangsat plak (hah, kan dah emosi), masuk lokap. 2 beradik tu pula dimasukkan ke dalam wad psikiatri untuk ‘dibrain wash’ semula paradigma iblis yang ada di dalam pemikiran mereka.
Bukan setakat itu, ada kes yang lebih parah (semua parah sebenarnya) dari itu. Seorang wanita muslim berumur 14 tahun mengandung anak luar nikah. Orang tua kepada lelaki, menawarkan wang yang lumayan (teka sendiri berapa) kepada orang tua wanita, agar anaknya menggugurkan kandungan. Tapi ditolak oleh pihak wanita, kerana menuntut lebih dari itu (wow, jual manusia lebih untung dari jual unta!). Akhirnya, kes ini lebih rumit, apabila ia dijadikan kes sebagai ugutan oleh pihak lelaki. Patutlah pening betul sahabat saya ni.
Saya Yang Tidak ‘Pening’
Sahabatku, tahukah anda bahawasanya hari ini ada ‘sesuatu’ yang berlaku ketika saya mengajar di sekolah. Anak-anak murid saya semuanya kelihatan comel-comel belaka, ditambah dengan sifat lucu mereka. Memang penambat hati seorang lelaki bujang (yang berhasrat untuk menikah, haha). Tidak dinafikan, memang ada kalanya mereka nakal, dan menguji kesabaran saya sebagai manusia biasa. Tapi, itu perkara biasa. Hari ini, seorang anak murid saya, bertanya kepada saya sesuatu yang tidak saya jangkakan:
“Ustaz, sembahyang tu wajib kan?”,
“Ye lah sayang (panggilan manja untuk diorang ni), memanglah wajib”.
“Tapi, ayah saya tak sembahyang kalau kat rumah. ayah cuma sembahyang, masa sembahyang Jumaat je.” (bahasa kanak-kanak memang macam ni)
Lalu, saya rapatkan dia pada saya, dan cium dahinya, kerana terharu dan bangga dengan secebis pemikiran yang ada pada dirinya. Saya katakan padanya:
“Fatihah, mungkin ayah sembahyang di dalam bilik. Tapi, Fatihah tak nampak. Atau, ayah sembahyang di tempat kerja. Macam mana Fatihah tahu ayah tak sembahyang pulak.”
“Taklah ustaz, kalau Fatihah bangun pagi-pagi, ayah tak bangun lagi. Ayah masih tidur, tak sembahyang. Tapi, emak sembahyang.”
Bidadari ataukah manusia, anak kecil di hadapan saya ini? Wajahnya yang lugu, kilauan matanya yang jernih, lebih jernih dari embun di pagi hari. Wajahnya yang sayu dan bersungguh-sungguh, menambahkan kekaguman saya padanya. Ya Allah, anugerahkan hambamu ini seorang anak, yang boleh menegur saya kelak, tatkala saya melakukan penyimpangan dari jalanMu yang lurus.
“Fatihah... Fatihah anak yang baik. Nanti balik, Fatihah kena cakap dengan ayah baik-baik tau. Jangan cakap yang tak elok, sebab berdosa nanti. Fatihah cakap macam ni, - Ayah, ustaz di sekolah Fatihah cakap, sembahyang tu wajib untuk semua orang islam, dan kalau tak buat berdosa.” Cakap macam tu ye sayang?
“Baik ustaz.”
Sebuah Penalaran
Guys dan sahabatku, situasi di atas masih dalam kategori normal bagi saya (dalam sistem sekarang ni). Orang tua menyekolahkan anak ke sekolah agama, agar anaknya dididik dengan didikan agama. Pada waktu yang sama, mereka pula yang tidak memahami agama dengan sebaiknya. Bukankah salah tanda kerosakan adalah ketika solat mula ditinggalkan oleh penganutnya. Lalu, di mana lagi hendak diletakkan kemuliaan, ketika penganutnya sendiri tidak melaksanakan aturan agama!
Benarlah apa yang dikau katakan padaku wahai sahabatku. Ketika berlaku kes zina (merujuk kes di atas), apa yang disibukkan bukanlah soal hukum agama, melainkan soal manfaat lainnya. Itu perkara biasa, janganlah dikau pening kerananya. Tetaplah menjalankan tugasmu sebagai pengemban dakwah, dan mencermati segala apa yang berlaku di sekelilingmu.
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dulu aku dapat melihat?". Dia (Allah) berfirman: "Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan". (QS Thaha[20]: 124-126)
Begitulah ungkapan Tuhan kepada kita. Apa yang berlaku di depan mata kita adalah dikeranakan umat manusia kini sudah banyak yang berpaling dari ajaranNya. Saya teringat kata-kata seorang sahabat saya satu ketika dulu. Dia berkata begini, “Dahulu, budaya couple ni, dianggap tabu. Lalu dibiarkan, dan akhirnya menjadi biasa. Zina pula, dahulu dianggap tabu, dan sekarang hampir menuju status biasa.” Sahabatku, anda BENAR!
Tidak dinafikan, segala permasalahan yang menimpa umat manusia (termasuk non-muslim), adalah disebabkan tidak diterapkannya sistem yang benar. Saya jadi teringat soalan seorang penanya di dalam satu ruangan diskusi. Dia bertanya begini, “Apakah standard yang hendak digunakan oleh kita untuk menentukan sesuatu yang benar?”. Lalu, dijawab dengan tenang oleh sahabat saya, “Ya, standardnya mestilah yang benar dari yang Maha Benar.”
Benar dari Yang Maha Benar. Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala saya. Aturan siapa lagi, kalau bukan aturan dari Allah SWT yang dimaksudkan oleh sahabat saya itu. Kecelakaan, kebinasaan dan kehinaan yang menimpa umat islam saat ini, adalah kerana tidak diterapkannya aturan Allah SWT di muka bumi secara menyeluruh (kaffah). Tidak dapat dipungkiri, bahawasanya seluruh dunia kini, telah didominasi oleh sistem kufur ciptaan akal-akal manusia. Yang baik bagi akal mereka, diambil. Yang buruk bagi nafsu mereka, ditolak serta-merta.
Setiap kejadian ada sebab akibatnya (sababiyah). Ia tidak terjadi secara magik dan di luar fitrah, kecuali mukjizat agung dari Ilahi (itu tidak dapat dipertikaikan). Justeru dari itu, setelah kita ketahui, bahawasanya keburukan yang menimpa umat manusia saat ini adalah kerana tidak diterapkannya sistem islam secara kaffah. Maka dari itu, kita harus berusaha (secara kolektif) untuk berjuang menegakkan kembali sistem islam yang telah ditinggalkan oleh umat islam sejak diruntuhkannya oleh Mustafa Kamal At-Tartuk La’natullah Alaih. Kebaikan, kesejahteraan dan kemuliaan akan menimpa umat yang terbaik ini setelah mereka melakukan tugas-tugasnya menyeru umat manusia untuk kembali menjadikan islam sebagai satu-satunya rujukan dalam segala aspek.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Imran[3]: 110)
Wallahu’alam...
Labels: Umum
Posted by thinker at 12:58 PG 1 comments
Rabu, 11 Februari 2009
Benarkah Segala–galanya Pada Akhlak?
Seringkali kita mendengar komentar-komentar tokoh cendekiawan Islam seperti, "Kehancuran bangsa ini kerana kerosakan akhlak pemimpinnya " atau "Anak bangsa hari ini sudah tidak bermoral!" atau "Kita bangunkan akhlak, maka bangsa kita akan dipandang rendah ini akan bangkit!!" dan sebagainya. Dalil-dalil yang selalu digunakan bagi menyokong kenyataan diatas seperti:
”Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang agung” (QS Al-Qalam :4).
”Aku ini diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR Al-Bazaar).
Untuk memahami maksud ayat empat di atas boleh diperhatikan pada hadis di bawah:
“Seorang sahabat pernah bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah, Aisyah menjawab, Akhlak baginda adalah Al-Quran".
Erti akhlak Rasulullah saw adalah Al-Quran bahawa sesungguhnya Rasulullah telah menjadikan perintah dan larangan Al-Quran sebagai akhlak dan wataknya. Setiap Al-Quran Memerintahkan sesuatu maka baginda mengamalkannya. Setiap Al-Quran melarang sesuatu maka baginda meninggalkannya. (tafsir Ibnu Katsir)
Ertinya, Rasulullah menjadikan tolak ukur halal dan haram dalam setiap pergerakannya. Walhasil, pernyataan bahawa akhlak merupakan teras permasalahan umat ini adalah tidak tepat, menyelesaikan semua masalah umat dengan akhlak juga adalah tidak tepat. Pemahaman seperti ini hanya akan mengakibatkan dua perkara. Pertama menjauhkan pemahaman umat terhadap Islam sebagai sebuah sistem kehidupan. Kedua mengaburkan pemahaman umat tentang nilai ruhiyah daripada akhlak.
Menjauhkan pemahaman umat terhadap Islam sebagai sebuah sistem kehidupan
Jika kita mengkaji dengan lebih teliti, nescaya kita akan mengetahui bahawa Islam mengatur kehidupan manusia dalam tiga hal iaitu hubungan manusia dengan Allah (akidah dan ibadah), hubungan manusia sesama manusia (sistem hukuman dan muamalah (perindustrian, pendidikan, sosial)), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (makanan, pakaian dan akhlak).
Memfokuskan pemahaman hanya pada akhlak akan mengakibatkan kefahaman umat menjadi sempit dan berlegar-legar pada akhlak sahaja. Sehingga timbul pandangan masyarakat dengan memperbaiki akhlak, maka semua permasalahan akan selesai atau dengan menyempurnakan akhlak, maka telah sempurna keislamannya. Tanggapan sebegini hanya menyempitkan ruang lingkup ajaran Islam kerana pengaturan masalah ekonomi, sosial, makanan, pakaian, aqidah, ibadah, jihad, dakwah dan lain-lain merupakan pembahasan diluar pembahasan akhlak.
Selain itu, jika semua masalah diselesaikan dengan memperbaiki akhlak, umpama seseorang membina rumah dengan berbekalkan sepotong gergaji. Memotong kayu dengan gergaji, memahat dengan gergaji, menyimen bata dengan gergaji, memasang jubin dengan gergaji, mengukur dengan gergaji dan segalanya menggunakan gergaji. Tentu mustahil memasang setiap bahagian dengan satu alat sahaja, kerana masing-masing harus dipasang dengan alat yang khusus. Oleh itu, bagaimana masalah ekonomi atau industri contohnya diselesaikan dengan akhlak?
Mengaburkan pemahaman umat tentang nilai ruhiyah daripada akhlak
Selalu juga kita mendengar pengolahan maksud akhlak dengan kata-kata:, "Jika seorang peniaga bersikap jujur, murah senyuman, maka dia akan memperoleh keuntungan. Kerana pembeli menjadi suka hati dan akan kerap datang berurusan dengannya" atau "Jika seorang doktor murah senyuman dan ramah, maka doktor tersebut akan mempunyai ramai pesakit dan para pesakit akan menceritakan lagi kepada pesakit yang lain".
Penjelasan seperti di atas tidak salah, tetapi mengaburkan pemahaman umat tentang nilai ruhiyah sebuah amal perbuatan. Seseorang yang melakukan perbuatan kerana mencari keredhaan Allah, dia bersikap jujur kerana perintah Allah, dia tidak berbohong kerana larangan Allah, dia murah senyuman kerana sunnah Rasul senyuman itu sedekah, maka di sinilah letaknya nilai ruhiyah dan dia memperoleh pahala kerananya. Tetapi jika dia berakhlak baik, agar pesakitnya lebih ramai, untung dalam berniaga, untuk pujian orang dan sebagainya, dia hanya memperoleh nilai keuntungan duniawi semata-mata, dan tidak memperoleh pahala daripada Allah.
Akhlak bukanlah segala-galanya
Sesungguhnya, kerosakan pada umat ini bukanlah disebabkan oleh akhlak sahaja, tetapi jauhnya umat dari Islam. Dalam akidah, muamalah, ibadah, akhlak, uqubat, makanan dan pakaian tidak lagi berlandas-kan pertimbangan Islam. Berekonomi menghalalkan riba, berpakaian tetapi telanjang, bersistemkan kapitalis, berpolitik machievalis, berakhlak jahiliyah, berhukum peninggalan British, Belanda dan sebagainya, sehingga pada nama mereka memang Islam tetapi segala keadaannya seperti orang bukan Islam. Padahal Islam adalah agama yang khas dan akan memancar pada peribadi seorang muslim dan muslimah.
Kebangkitan umat tidak ditentukan oleh akhlak, tetapi tergantung pada sejauh mana pemikirannya tentang Islam. Jika setiap gerak langkah seseorang dipandu oleh kepimpinan pemikiran yang Islami, maka umat ini akan bangkit. Jika tolok ukur mereka adalah aturan yang telah dimuliakan oleh Allah s.w.t iaitu Islam, dan semua perkara mengarah kepada aturan tersebut, maka waktu itulah terjadinya kebangkitan umat.
Seseorang itu bersikap jujur, sabar, tidak berbohong, murah senyuman, menolong jiran, dan lain-lain kerana diperintahkan Allah dan ditunjukkan oleh rasul-Nya. Begitulah pemahaman yang harus diberikan kepada umat. Bukan akhlak yang bersifat universal dan bernilai material, kerana boleh jadi orang kafir juga mempunyai akhlak yang baik, mereka jujur, senyum, tidak berbohong, tetapi kerana landasan akidahnya rosak maka mereka tidak boleh dikatakan sebagai individu yang soleh walaupun berakhlak baik.
Wallahu'alam...
Labels: Fikrah
Posted by thinker at 6:35 PTG 0 comments
Isnin, 9 Februari 2009
Roman Picisan Bulan Februari
aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu
aku ingin menjadi sesuatu yg mungkin bisa kau rindu
karena langkah merapuh tanpa dirimu
oh karena hati tlah letih
aku ingin menjadi sesuatu yg selalu bisa kau sentuh
aku ingin kau tahu bahwa ku selalu memujamu
tanpamu sepinya waktu merantai hati
oh bayangmu seakan-akan
(Dealova – Once)
Buat ketikanya, saya bagaikan terkhayal dengan lagu ini. Liriknya ditulis indah, dengan bait-bait yang memukau. Ada apa, sehingga lagu-lagu roman seperti ini kedengaran hampir di setiap premis yang saya kunjungi di ibu kota. Perjuangan cinta, menjadi agenda bagi dua insan yang sedang dilamun mabuk kasmaran. Mungkin benarlah apa yang diungkapkan lagu di atas, bahawa waktu telah merantai hati tatkala si dia tidak ada di sisi. Ah, lagu itu terlalu berlebih-lebih.
Tanggal 14 Februari bukan lagi asing di kalangan pasangan yang bercinta. Ia merupakan hari yang dianggap istimewa kepada kebanyakan pasangan kekasih kerana pada hari itulah mereka meluahkan rasa cinta dan memeterai janji. Pada tarikh itu juga ramai yang mengambil kesempatan untuk meluahkan isi hati kepada insan tersayang dan bertukar-tukar hadiah sebagai menterjemah rasa cinta di antara mereka.
Ibarat pepatah yang berbunyi, “Sediakan Payung Sebelum Hujan”. Sebelum hari itu tiba, ada baiknya saya coretkan sedikit perkara ini, agar menjadi payung yang akan mengelakkan basahnya badan dari hujan, yang lebih tepat adalah... mengelak sebelum tubuh badan ‘dibasahi’ oleh panasnya api neraka kelak, na’udzubillah min dzalik.
Pada minggu ini, kota ini dilimpahi dengan warna roman agung, iaitu warna merah. Merah jambu, merah hati, merah berahi (ops!). Mulai dari pusat membeli-belah yang kecil hinggalah yang besar, mulai dari pasar hinggalah ke kedai runcit Pak Ali (haha), semuanya menawarkan materi-materi roman dambaan Sang Pencinta. Pada saat ini, bunga-bunga yang indah, menjadi perkara tumpuan bagi kebanyakan orang. Khususnya muda-mudi. Sinonim dengan bunga tadi, kad ucapan yang beraneka, diindahkan lagi dengan lagu-lagu puitis ketika membukanya (yang pasti bukan lagu Aduh Salehah).
Di sisi lain, media massa memainkan peranan yang sangat penting dalam merancakkan lagi musim cinta Sang Arjuna. Jika Filem Bollywood terkenal dengan perjuangan cinta suci sang hero untuk heroinnya. Filem Hollywood juga tidak ketinggalan dalam melestarikan segala macam bentuk perjuangan cinta. Filem Malaysia? Sorry to say, saya tidak berapa peka sangat dengan filem tempatan ni (not prejudis, its about quality and spirit). Majalah, koran dan leaflet pada bulan ini banyak yang membahaskan tentang cinta. Cinta, cinta dan cinta. Jika kalian sudi, datanglah ke rumah saya, dan cuba baca novel karya Taufiqurrahman Al-Azizy dalam trilogi novel makrifat cinta. Ah cinta lagi! Jangan prejudis dulu dong. Ia memang novel yang berbasis cinta. Lihat saja judul awalnya iaitu, Syahadat Cinta, lalu Musafir Cinta, dan terakhir Makrifat Cinta. Tetapi, pengarang novel ini menterjemahkan cinta dalam bentuk yang berbeza. Kalau punya waktu nanti, saya akan cuba membuat sedikit resensi berkenaan trilogi novel tersebut, insyaAllah. Kalian boleh saja, mengatakan bahawa saya terkena tempias-tempias cinta. Iya mungkin, tapi dalam erti yang berbeza.
Valentines Day. Saya tidak berniat untuk membahaskan hukum seputar berkenaannya. Kalaupun saya mahu, cukup sekadar, saya copy-paste dari sekian banyaknya dari bloggers yang ada, yang lebih detail dan rinci ketika membahaskannya. Saya yakin, umum menyedari bahawa menyambut Hari Valentines adalah bukan dari ajaran islam. Merayakannya, mempropagandakannya, menyebarluaskannya tentu saja akan mendapatkan dosa bagi pelakunya kerana ia mempunyai nilai estetika dan hadharah tertentu yang tidak diiktiraf oleh agama islam. Terlalu banyak versi yang ditulis berkenaan sejarah ‘Valentines Day’. Terserah anda saja, mahu meyakini yang mana. Tapi, jangan merayakannya dong. Cukup sekadar pengetahuan saja!
Belajar Dari Novel Agung, Tentang Cinta
Sedikit perkongsian. Saya punya kawan. Dia sering merasa layu ketika bekerja. Tidak bersemangat dalam menjalankan aktiviti hariannya. Tidak berghairah ketika berinteraksi. Lalu, saya bertanya kepadanya, tentang apa di sebalik yang berlaku pada dirinya. Lalu, dia meluahkan perasaannya, bahawa dia merasa kesepian kerana tidak ada pendamping di dalam hidup (maksudnya tiada awek lah). Aduh, ada juga perkara sebegini yang berlaku ye. Ada suatu yang menarik untuk dikongsikan tatkala saya membaca Novel Ayat-ayat Cinta 3 tahun yang lalu.
“Dan entah kenapa, hatiku mulai condong kepadanya. Hatiku selalu bergetar mendengar namanya. Lalu, ada perasaan halus yang menyusup ke sana tanpa aku tahu perasaan itu namanya. Fahri, nama itu seperti embun yang menetes dalam hati. Kurindu tiap pagi.” (Habiburrahman El-Sherazy, Ayat-ayat Cinta, m/s 371)
Begitulah yang berlaku pada manusia biasa. Tidak terlepas dari sifat cenderung pada lawan jenisnya. Cuma perbezaannya ialah dari sudut apakah aspek kecenderungan yang ia sandarkan. Ada yang mencintai seseorang kerana fiziknya (paras rupa), ada pula kerana harta dan kerjayanya, ada yang kerana kebijakannya, dan ada pula yang kerana agama dan perjuangannya. Lihatlah bagaimana Maria mengungkapkan cinta:
“Fahri, Aku benar-benar tertawan olehmu. Tapi, apakah kau tahu apa yang terjadi padaku? Apakah kau tahu aku mencintaimu? Aku malu mengungkapkan semua ini padamu. Dan ketika aku kau diajak dansa dan tidak mahu itu tidak membuatku kecewa tapi malah sebaliknya membuat aku merasa sangat bangga mencintai lelaki yang kuat menjaga prinsip dan kesucian diri sepertimu.” Ia juga berkata, “Memang memendam rasa cinta sangat menyiksa, tapi sangat mengasyikkan! Love is a sweet torment!” (Habiburrahman El-Sherazy, Ayat-ayat Cinta, m/s 372 & 374)
Maria, oh Maria. Dia mengorbankan dirinya, hartanya dan segala-galanya untuk cintanya pada Fahri. ia nyaris menjadi hamba cinta dan simpati ketika berkata, “Aku sangat mencintainya seperti seorang penyembah mencintai yang disembahnya.” (Habiburrahman El-Sherazy, Ayat-ayat Cinta, m/s 374)
Wow, bagaimana tentang diri anda? Apakah menjadi hamba kepada hamba, ataukah menjadi hamba kepada Pencipta hamba? fikirkan! Ketulusan cinta yang menyerahkan segala-galanya, diuji oleh perasaan manusiawinya ketika Fahri menikah dengan Aisha.
“Aku merasa ingin mati saja. tak ada gunanya hidup tanpa didampingi seseorang yang sangat kucintai dan kusayangi. Aku ingin mati sahaja. aku rasa aku tiada bisa hidup tanpa kekuatan cinta. aku akan menunggunya di syurga.” (Habiburrahman El-Sherazy, Ayat-ayat Cinta, m/s 375)
Guys, jangan pernah berangan-angan syurga jika tidak tahu jalan menempuhnya. Jangan pernah larut dalam lirik lagu, “Kutunggu di pintu syurga.” Pigi da! Macam tahu plak, syurga tu macam mana!
Bersambung... (Selamat Tinggal Valen)
Labels: Perihal Pria Dan Wanita
Posted by thinker at 11:05 PTG 0 comments
Empati Bukan Simpati - Apa Tu?
Wow, tajuk dan pembahasan yang tidak pernah saya fikirkan sekali gus dituangkan dalam bentuk penulisan. Sekadar menghargai penjelasan yang diberikan oleh seorang sahabat yang berusaha menjelaskan kepada saya beberapa hari lalu berkenaannya. Adalah sia-sia jika ilmu yang 'ditransfer' itu tidak dikongsi bersama (but, not cut and paste).
Bersikap empati berbeza pengertiannya dengan sikap simpati. Sikap simpati lebih merupakan kesepakatan penilaian terhadap orang lain. Sedangkan sikap empati lebih menekankan untuk mengerti dan memahami orang lain secara emosional dan intelektual. Maknanya, kita menggunakan ketajaman mata hati untuk memperhatikan masalah orang lain, berusaha melihat kesulitan orang lain. Bersikap empati, secara sederhana adalah memandang keluar melalui kerangka pemiikiran orang lain, atau melihat dunia dan hubungan dengan orang lain melalui kaca mata orang yang berbeza. But how?
Kita dapat memulainya dengan menumbuhkan pemahaman dan perasaan dari dalam jiwa kita. Menanamkan tekad dari dalam hati untuk mengutamakan kepentingan orang lain. Memiliki kerendahan hati, kesediaan berkongsi kebaikan dengan orang lain. Memiliki kesediaan hati berbagai kegembiraan di saat memperoleh kemenangan dan memberikan dorongan di saat mengalami kesulitan.
Seorang beriman, seharusnya memahami akan kepentingan empati di dalam dirinya terhadap orang lain. Sesiapa sahaja boleh memiliki sifat empati, baik muslim mahupun non-muslim. Tetapi, seorang yang beriman, ia bertindak dan memiliki sifat empati adalah didasarkan pada dorongan akidahnya. Misalnya, apabila ada musibah di kalangan kawan-kawan atau saudara se-akidah, hati kita turut mengalami kesakitan musibah tersebut lantaran jiwa kita penuh dengan nilai empati yang lahir dari sifat kasih sayang terhadap saudara se-agamanya. Daripada empati tersebut maka akan lahirnya ukhuwah kita dengan orang lain. Apabila terbinanya ukhuwah maka utuhlah perpaduan dan kasih sayang dalam sesebuah masyarakat. Tidak timbul lagi caci-mencaci, mengumpat dan mengata terhadap kelemahan seseorang. Rasulullah saw pernah bersabda: “kasihilah saudara mu sebagaimana kamu mengasihi diri kamu sendiri”. Ini menegaskan kepada kita bahawa Islam menegaskan betapa pentingnya sikap empati ini dalam membina persaudaraan Islam.
Oleh itu, mari kita renungkan dalam diri kita sejauh manakah nilai empati ini adalah dalam diri kita? Adakah hati kita terasa sedih apabila ada sahabat-sahabat kita yang mengalami musibah dan sebagainya? Begitu juga bagaimana perasaan kita sebagai muslim apabila saudara-saudara kita di Palestin dizalimi dan dibunuh dengan kejam oleh rejim Zionis? Adakah kita hanya tunjuk simpati atau empati? Tepuk dada, tanyalah iman kita! (eh, macam selalu dengar je kalimat ni).
Wallahu’alam...
Labels: Umum
Posted by thinker at 2:01 PG 0 comments
Sabtu, 7 Februari 2009
Jom Nangis!
Lagi-lagi, membahaskan tentang menangis. Hohoho, rilekas. Kalau iye pun, jangan nangis dulu. Tajuk tu, just gimik je. Saya bukan nak mengajak kalian (pembaca sekalian) agar menangis. Tetapi, sekadar mengajak untuk memilih cara menangis yang betul, hehe. Saya tidak pasti, adakah manusia di dunia ini yang belum pernah menangis. Atau, pernah berazam untuk tidak menangis. Apa pendapat anda? Jujur saja, saya seorang yang mudah menangis. Entah kenapa, mungkin saja kerana fitrahnya begitu, ataupun kerana DNA yang mengalir di dalam tubuh saya. (Apa kata doktor?). Kalau lah teman saya baca tulisan ni (sebab dia seorang doktor), tentu dia sedang ketawa sekarang, haha. Eh, saya lupa... bahawasanya saya seorang yang berstatus bongsu di kalangan keluarga, hoho. Ah, just forget it.
Terlalu banyak sebab untuk seseorang itu menangis. Seorang anak kecil (baby) menangis kerana susunya habis. Seorang budak, menangis kerana tidak dibelikan barang permainan. Sang isteri menangis, kerana suaminya tidak menjamah masakan yang dibuatnya. Seorang ibu menangis kerana melihat anaknya hilang (suami bawa keluar pun dia tak tahu, haha). Dan begitulah seterusnya. Ada yang kelakar tentang saya satu ketika dulu. Saya pernah menangis kerana parents saya tidak menjenguk saya di Asrama ketika Hari Raya (sekolah ni pun satu, Hari Raya bagilah balik!). Mungkin lucu, ketika saya mengenangkannya kembali. Air mata yang bercucuran, sangat mudah ketika perasaan sedang bergejolak. Apa yang lebih parah, apabila ada seorang lelaki menangis, kerana cintanya tidak berbalas dari seorang wanita yang diminatinya. Ni, saya tak boleh terima, tak gentle lah lu mat! Dengarlah nasihat saya, bunga bukan sekuntum beb!
Menangis Kerana Iman
Just wait, sorry kalau mengutuk sesiapa. Jujur, saya tidak berniat begitu. Saya juga manusia biasa. Boleh mengerti apa yang kalian rasai dan tangisi. Namun, adalah suatu yang sia-sia apabila kita melakukan sesuatu itu tanpa ada nilai pahala ketika melakukannya. Padahal, kalaulah kita melakukan perkara tersebut (menangis le) dengan cara yang betul, maka kita akan mendapatkan pahala sekali gus rahmat Allah SWT. Tak percaya? Silakan untuk tidak percaya, kerana saya tidak paksa kalian untuk percaya.
Lazimnya, menangis dipersepsikan secara negatif sebagai perkara yang menunjukkan sikap lemah dan cengeng. Sehingga sering kita diberi nasihat: Sudahlah, janganlah menangis! Jujur saja, saya pernah digelar sebagai seorang yang cengeng (tu dulu lah, waktu kecil). Namun ada menangis yang dianjurkan, hukumnya menurut syara’ adalah sunnah. Ertinya, menangis yang membuat pelakunya dapat pahala. Menangisnya seseorang beriman itu adalah kerana takut kepada Allah dan tatkala ingat kepada-Nya.
Allah SWT berfirman
Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’. (Qs. al-Isrâ’ [17]: 109).
Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (Qs. Maryam [19]: 58).
Adapun dalil dari as-Sunnah adalah:
• Dari Ibnu Mas’ud ra., ia berkata; telah bersabda Nabi Saw kepadaku:
“Bacakanlah al-Qur’an untukku.” Wahai Rasul! Apakah aku harus membaca al-Qur’an untukmu, sedangkan al-Qur’an itu diturunkan kepadamu? Beliau Saw bersabda, “Aku sangat menyukai mendengarkan al-Qur’an dari orang lain.” Ibnu Mas’ud berkata; Maka aku membacakan al-Qur’an surat an-Nisâ’ untuk Rasul, hingga aku sampai pada ayat:
“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 41). Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Cukup sampai di sini.” Aku menoleh kepada Rasul Saw, ternyata kedua matanya mengucurkan air mata. [Mutafaq ‘alaih].
Banyak lagi nas-nas yang menjelaskan anjuran menangis ketika mengingat Allah SWT dan takut kepadaNya. Taip saja di google search, dan taip “menangis kerana Allah”, tentu kalian akan mendapatkan referensi yang banyak mengenai menangis yang dianjurkan di sisi islam. Pembahasan kali ini memang terlalu simple, namun saya punya maksud tersendiri, kerana melihat banyaknya orang menangisi apa yang tidak patut ditangisi. Bukan saya bermaksud, bahawa saya merasa suci akan diri sendiri. oh bukan, jauh sekali. Saya menganggap tulisan ini adalah sebagai cerminan diri saya sendiri. sebagai muhasabah kepada diri yang alpa. Menangis kerana cinta tak terbalas, boleh saja. Silakan anda menangis. Tapi untuk apa? Menangis kerana kalian kalah dalam suatu acara (pertandingan) pun boleh, silakan. Tapi, entahlah. Untuk apa?
Kan lebih elok dan molek, jika kalian saling berpesan-pesan dalam kebaikan dan ketakwaan. Lalu, kalian menangis kerananya. Menangis kerana mengenangkan dosa-dosa dan kelalaian kalian sebagai hamba Allah di muka bumi. Atau, pada malam hari, tatkala orang semua sedang dibuai mimpi, kalian bangun untuk bertahajud dan bermunajat kepada Sang Pencipta alam. Lalu kalian menangis kerana berasa terlalu banyak khilaf dan dosa. Kalau anda malas, saya ingin mengajak anda (yang lelaki jelah) untuk ke sebuah bukit pada waktu senja, lalu kita melihat kebesaran Allah SWT dari penciptaanNya yang agung ini. Merenung. Ya, dengan perenungan di bukit itu nanti, kita merasa kecil dan lemah sebagai hamba di muka bumi ini.
Rasulullah telah menasihati kami dengan nasihat yang menyebabkan hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. [HR. Abu Dawud. At-Tirmidzi berkata hadits ini hasan shahih].
Hadis-hadis di atas menyedarkan kepada kita, siapa sebenarnya kita? Apakah kita termasuk orang yang takut kepada Allah ataukah kita berani kepada-Nya? Tentu yang terakhir, na’uudzubillahi mindzalik!
Demi kesuksesan hidup masa depan, marilah kita renungkan sabda Nabi saw. dalam hadits qudsi dimana Allah SWT berfirman: “Tidak akan kukumpulkan dalam diri hamba-Ku: dua rasa takut dan dua rasa aman. Siapa saja yang takut kepada-Ku di dunia, maka akan Kuberi rasa aman di akhirat. Siapa saja yang merasa aman dari-Ku di dunia, maka akan Kuberi rasa takut di akhirat.” [HR. Najjar dalam Kanzul Umal, II/709].
Selamat menangis terhadap sikap diamnya kita serta merasa amannya kita atas dominasi kekufuran dan kemungkaran dan dicampakkannya syariah Allah di muka bumi, kerana takut kepada Allah SWT, dan selamat berjuang meninggikan kalimat Allah dan menegakkan hukum syariah-Nya di muka bumi untuk mendapatkan keredaan-Nya! Allahu Akbar!
Wallahu’alam...
Labels: Umum
Posted by thinker at 9:03 PG 0 comments
Khamis, 5 Februari 2009
Fenomena Khutbah Yang Membosankan
Perkara ini sudah terlintas di dalam benak fikiran saya, saat saya sudah mula rapat dengan masjid ketika kecil dahulu. Oleh sebab masjid agak jauh (dalam 1 KM) dari kawasan rumah saya, jadi ayah saya hanya membawa saya ke masjid ketika datangnya waktu solat Jumaat sahaja. Bukan apa, mereka risau, untuk saya melintas jalan seorang diri jika hendak ke masjid (sayang anak la kan).
Saat itu, pemikiran saya belumlah matang untuk berfikir. Namun, apa yang terfikir bagaikan lintas bayang yang terekam di celah-celah memori saya. perkara itu, masih berlarutan dan membuat saya berfikir, apakah di sebalik semua ini? fenomena ini berlanjutan hampir di kebanyakan masjid-masjid yang pernah saya kunjungi untuk solat Jumaat. Ia berkenaan fenomena khutbah yang saban hari, semakin membosankan, malah tidak mengghairahkan. Bukankah khutbah itu, sepatutnya suatu yang dinanti-nantikan oleh umat islam? Untuk memuhasabah diri pendengar dan khatib yang berbicara? Namun, apa yang berlaku adalah sebaliknya. Majoriti pendengar, malah memilih untuk tidur dibandingkan mendengar khutbah yang berjela-jela (yang entah ke mana) dan membosankan tersebut.
Kembalikan Ruh Khutbah
(judul ini, saya pinjam dari Salim A. Fillah di dalam bukunya yang berjudul “Saksikan, Bahwa Aku Seorang Muslim)
Saya sering terkilan dan sedih bilamana khutbah menjadi tempat ‘pengajian’. Benar-benar sedih. Rukun Solat Jumaat ini kemudian menjadi sajian nikmat pengantar tidur. Bahkan, jika seseorang mendapat insomnia, pada saat itu ia telah mendapat ubat yang sangat mujarab (untuk tidur). Tulisan ini bukan ingin membahaskan boleh atau tidaknya tidur, tapi sekadar ingin mengungkap tentang fungsi sebenar sebuah khutbah sebagai pengingat rutin ketakwaan. Manusia sememangnya makhluk yang sering lena dan alpa (An-Nisyaan), maka khutbah jumaat adalah mekanisme yang digariskan oleh Allah SWT untuk menjadi pengingat tetap dan rutin. Jujur saja, kadang yang salah bukan pendengarnya. Tapi, ia lebih kepada Sang Khatib di atas mimbar. Apa sebenarnya yang tidak kena dengan khutbah-khutbah yang ‘bermasalah’ini?
Banyak yang ingin saya ungkap dalam penulisan kali ini. Tapi, saya khuatir, bukan anda (sang pembaca) membacanya nanti, malah anda pula yang tidur (haha). Majoriti khutbah di Malaysia adalah berdasarkan teks yang dibuat oleh jabatan agama negeri masing-masing. Sang khatib pula, tinggal hanya membacanya, persis seperti anak sekolah yang sedang membaca cerita. Para jemaah dipaksa untuk mengikuti pola fikir sang penulis dan sang khatib lewat analisis, kajian, fakta dan kesimpulan-kesimpulan yang berjela-jela. Saya berani berandai, bahawa sesungguhnya para jemaah tidak memerlukan semua itu. Sebab itu, mereka lebih memilih tidur daripada mendengarkan khutbah. Apatah lagi, jika sang khatib tidak pandai ber-antonasi dengan baik, justeru jemaah akan berkata, “Ah, ganggu je, aku nak tidur!”
Wahai ‘pengkhutbah’ (ada ke istilah ni?), saya bukanlah seperti kalian, dan saya tidak pernah berkhutbah dalam solat Jumaat. Mungkin kalian berhak berkata, “cakap lebih, berkhutbah pun belum!”. Kalian benar, saya memang tidak pernah berkhutbah dalam solat Jumaat. Namun, saya seorang pendengar dan pemberi saran yang baik.
Secara peribadi, saya melihat permasalahan ini terlihat dari 3 aspek yang perlu diperhatikan oleh sang khatib ketika berkhutbah:
1) Materi (isi) yang disampaikan
2) Cara penyampaian
3) Jangka waktu penyampaian
Pertama, sesungguhnya khutbah Jumaat menjalankan fungsi-fungsi khusus yang tidak ada di dalam forum-forum lain. Bahkan, rukun khutbah mencantumkan wasiat takwa sebagai hal yang perlu ada. Membahaskan suatu fenomena, mungkin suatu yang perlu sebagai bahagian dari fungsi penerangan kepada umat. Tapi perlu dicatat, mesti tetap terkait dengan takwa. Pembahasan yang berjela-jela dan meleret-leret yang entah ke mana, hanya akan membuat orang bosan dan akhirnya memilih tidur sebagai jalan penyelesaian.
Tidak dinafikan bahawa seorang khatib adalah orang yang terpilih dan memiliki ilmu untuk menyampaikan. Namun sayang, jika saat berkhutbah sang khatib berusaha untuk menyalurkan semua ilmu kefahamannya kepada para jemaah lewat berbagai-bagai kutipan dan analisis yang berjela-jela (hope tak merepek lah). Rasulullah saw memberi tuntunan kita agar berkhutbah dengan sederhana, yang penting bersangkutan dan berhujung takwa. Itu saja. Khutbah bukanlah kajian, pengajian atau majlis ta’lim. Bukan, jauh sekali! Apa yang lebih sedih apabila khutbah dijadikan medium untuk melakukan ghibah politik, ghibah sosial apatah lagi ghiba individual.
Aisyah r.a meriwayatkan:
"Rasulullah SAW tidak tergesa-gesa menyambung pembicaraan dengan pembicaraan lain seperti tergesa-gesanya kalian. Akan tetapi beliau berbicara dengan perkataan yang jelas, yang mudah ditangkap dan diingat oleh orang yang duduk bersama beliau".
Kedua, saya yakin, tidak akan ada jemaah yang sempat tertidur jika khutbah yang diberikan sesuai seperti Rasulullah saw. Mengapa? Suasana khutbah yang seharusnya adalah suasana perang. Menggetarkan jiwa dan menyentuh perasaan. Penuh dengan ancaman dengan pengobaran semangat penuh komando, kerana ia menyangkut hidup dan mati. Bahkan lebih dahsyat, soal seksa atau nikmat akhirat! Masih kah ada tatkala itu jemaah yang mampu tertidur? Ya mungkin saja ada, kalau jemaah itu belum tidur satu hari, satu malam sebelumnya (haha). Ini kerana, tidak ada satu jemaah pun (termasuk sang khatib) yang boleh merasa aman dari azab Allah SWT. Tidak ada sama sekali. Semua ini adalah bermula dari tanggungjawab sang khatib untuk menumbuhkan nuansa sebegini.
Diriwayatkan dari Jabir RA, bahwa jika Rasulullah berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya tinggi, dan kemarahannya sungguh-sungguh. Beliau bagaikan komandan pasukan perang yang sedang berkata, “Musuh menyerang kalian pada pagi hari!” dan “Musuh datang pada waktu petang!!!” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)
Ketiga, jangka waktu penyampaian. Rasulullah itu memendekkan khutbah dan memperpanjang solat. Kita?
“Termasuk tanda seseorang yang pemahamannya mendalam adalah, khutbahnya singkat, solatnya panjang”. (HR. Muslim [2/594)
Persoalannya, panjang itu seharusnya yang bagaimana? Cuba saja baca surah Qaaf, kerana ia sering dibaca oleh Rasulullah saw pada solat Jumaat, sehinggakan banyak sahabat yang hadir boleh menghafalnya. Atau, boleh juga membaca surah Al-A’la ditambah dengan Al-Ghasiyah. Singkat sekali kan? Ini bererti khutbah Rasulullah lebih pendek dari itu. Sepuluh atau lima belas minit juga sudah termasuk dalam kategori lama.
Mengapa begitu? Ya, memang begitu! Lebih baik singkat, padat, jelas, tepat dan mengena isinya daripada berjela-jela. Walhasil, para jemaah pula yang sedang khusyu’ ‘berzikir’. Dari sudut psikologi pula, saya yakin bahawa para jemaah saat itu adalah orang yang ingin segera solat.
Maka dari itu, secara peribadi, saya berharap dan berdoa kepada Allah SWT agar situasi dan kondisi khutbah Jumaat dapat dirubah dari suasana yang malap dan sayup, menjadi suasana yang penuh dengan nuansa takwa dan pengobaran semangat, yang mana orang ngantuk memilih untuk tidak tidur, orang layu menjadi semangat, orang kecewa dipenuhi dengan redha, dan semua itu akan membawa umat ke arah masyarakat yang makin menghayati khutbah Jumaat itu. Walhasil, orang yang pulang dari solat Jumaat menampakkan kebugaran wajah yang penuh dengan makna hakiki orang-orang beriman, dan bukan pulang, langsung tidur (sebab, tadi sang khatib dok kacau, susah tidur agaknye).
Imam An-Nawawi berkata dalam Syarah Sahih Muslimnya, “Hal ini menunjukkan bahawa disunnahkan bagi khatib untuk;
1) memantapkan urusan khutbah (dari segala sudut isi yang ingin disampaikan)
2) meninggikan suaranya
3) membesarkan perkataannya (jelas perkataannya)
4) hendaknya pembicaraannya sesuai dengan bahagian yang dibicarakannya dari penekanan dan ancaman (perhatikan antonasinya)
5) dan kemarahannya terlihat sungguh-sungguh, kerana waktu itu ia memperingatkan urusan yang sangat besar dan mengancam dengan seruan yang sangat penting.
Wallahu’alam...
Labels: Umum
Posted by thinker at 1:01 PG 0 comments
Isnin, 2 Februari 2009
Adakah Mereka Tahu Tentang Palestin?
Pada 31 januari, saya telah menghadiri “Malam Suara Kemanusiaan Palestine” di Dataran Awam Petaling Jaya (Berhadapan Dengan Amcorp Mall) Anjuran: Jim, Karisma, & Pace. Penulis tiba seawal jam 20.00, walau forum dimulakan pada jam 21.00. Sekitar jam 20.45, orang ramai mulai mengisi ruang-ruang majlis. Di sekitar banner signature for Palestin pula, muda-mudi mula menulis signature dihiasi dengan slogan-slogan masing-masing. Slogan-slogan yang dapat saya tekap dalam memori yang rendah ni ialah seperti, “STOP ABSURDITIES, STOP HATING, Free Palestine”, “palestine is our country”, “palestin akan bebas satu hari nanti!”, “Hapuskan Kekejaman Israel”, dan banyak lagi. Sungguh, ia slogan yang beraneka ragam, ekspresi dari kekejaman Sang Yahudi. Saya juga tidak ketinggalan untuk mengekspresikan apa yang terbuku di hati & sanubari (teka sendiri, apa yang saya tulis).
Tidak banyak perbezaan yang saya lihat. Majlis ini juga lebih kurang sama dengan majlis-majlis yang dianjurkan di mana-mana (kebanyakan). Dari riak wajah dan perwatakan pengunjung yang hadir, sepertinya tujuan mereka datang hendak enjoy atau berpesta (moga saja, andaian saya silap). Satu kumpulan, yang membuat satu bulatan kecil bersorak dengan beberapa slogan, yang tidak mencerminkan pemikiran sebuah solusi dari islam. Beberapa family datang, mundar-mandir di jejeran kedai-kedai yang ada di situ. Kelihatan beberapa muslimah (dalam kelompok) berborak-borak, seperti baru ditemukan setelah terpisah selama 10 tahun. AJK majlis sibuk berbincang, mengedar leaflet, mengurus pentas. Suasana yang biasa dan sudah boleh diagak.
Dalam kesesakan orang ramai, saya sempat menemu ramah salah seorang AJK majlis tentang isu yang berkait pada mala itu, iaitu isu Gaza & Palestin. Dengan lagak seperti seorang wartawan, memegang buku catatan, lalu saya perkenalkan diri saya dan bertanya terus kepadanya;
“Apakah pendapat adik (nampak lebih muda dari saya) tentang isu Gaza dan Palestin ni? Adakah cukup dengan memberi bantuan dana dan perubatan? Atau macam mana, solusi sebenar di sisi islam?”
“aaa... mmm... dana dan bantuan perubatan tu juga dapat membantu. Tapi, yang lebih penting adalah, kita harus mula daripada diri sendiri. kalau diri umat islam tu baik, insyaAllah sumernya akan jadi baik”
Begitulah, temu bual ringkas yang saya jalankan. Walau ia hanya jawapan dari seorang, namun ia sudah cukup menggambarkan tentang realiti masyarakat kini (yang majoriti) yang seolah-olah mengaku bahawa mereka prihatin terhadap isu umat islam, padahal tidak. Mereka berlagak seperti hero-hero umat islam, padahal mereka sebahagian dari umat yang mengecewakan. Mereka lantang berbicara sini dan sana, kiri dan kanan, atas dan bawah, malah mereka diperkukuh dengan segala macam aktiviti-aktiviti yang bersangkut tentang isu umat islam. Tapi, apa yang mereka hasilkan? Hanya fakta tanpa rasa. Hanya persoalan tanpa jawapan. Hanya masalah tanpa penyelesaian. Apakah ia bermakna? Fikirkan!
Guys and friends, cuba fikirkan. Jika ibu dan bapa kalian mati di hadapan kalian akibat dari serangan zionis, apakah perubatan yang kalian mahukan? Jika tanah halaman kalian dirampas oleh zionis, adakah dana yang kalian impikan? Jika agama suci kalian dicemarkan dan dihinakan oleh zionis, adakah hanya doa & solat hajat yang kalian pohonkan untuk menegakkan agama suci ini? Sedarlah dari mimpi-mimpi kalian itu. Bangunlah dari tidur nyenyak kalian itu. Insafilah tentang kefahaman yang kalian agungkan dan dambakan selama ini, yang justeru bukanlah hadir dari penyelesaian dari tuhanmu yang Maha Benar, lagi Maha Bijaksana.
Bukankah kita punya rasul sebagai suri dan teladan. Bukankah orang-orang soleh setelahnya, telah menunjukkan kepada kita tentang kemenangan yang diperoleh setelah mengambil penyelesaian dari tuhan yang maha esa. Umar Al-Khattab & Salehuddin Al-Aiyubi sebagai pembuka dan penakluk negara Palestin, adalah contoh kepada kita bahawa mereka tidak mengambil penyelesaian selain dari apa yang ditunjukkan oleh baginda nabi, iaitu dengan Jihad dan Daulah Islam! Bukan yang lainnya.
Wallahu’alam...
Labels: Aktiviti
Posted by thinker at 2:03 PTG 1 comments